Here #2

Amarah tak akan membawa manusia kemanapun. Seperti gelombang tsunami besar yang datang bergulung-gulung tanpa diundang, menyapu habis pantai dan peradaban manusia, dan pergi sama cepatnya dengan menyisakan kerusakan besar dan penderitaan. So anger is. Dia datang begitu mendadak, membutakan mata manusia, dan pergi sama mendadaknya dengan hanya menyisakan kerusakan yang terkadang sulit untuk diperbaiki. Dan penyesalan. Penyesalan tak tampak, yang akan lebih sulit untuk diperbaiki.

Persisnya itulah yang terjadi pada diri pemuda pirang jangkung berusia lima belas tahun ini. Sorot mata hijaunya yang keruh dan membara karena amarah, perlahan melunak saat sosok seorang gadis muda seusianya yang berurai air mata tertangkap oleh daerah pandangan matanya. Janette menangis. Bahkan saat gadis itu berkata dia tak apa, bahasa tubuhnya mengatakan hal yang bertolak belakang. Rigel sudah menakutinya, mungkin? Pemuda itu sudah berlagak seperti seekor kucing betina sombong yang terinjak ekornya dan mencakar membabi buta. Sempurna. Aku menghancurkan harga diriku sendiri di depan Jane, pikir pemuda itu pahit.

Amarah yang tadi begitu membara menghilang begitu saja, tanpa meninggalkan bekas apapun kecuali penyesalan. Seseorang dalam dirinya yang tadi begitu semangat memakinya bodoh dan memompa sejumlah besar tenaga pada otot-ototnya sehingga dia berlari tanpa dia sadari saat melihat Kane Dietrich Pavarell —bolehkah dia tambahkan kata 'brengsek' di sini?— menyentuh bibir Janette dan melayangkan tinjunya tanpa henti, kini menguap seperti vampir terkena matahari San Francisco. Oke. Bukan berarti Pavarell tidak berhak mendapatkan hukuman. Tapi kan dia bisa menggunakan cara lain, bukannya cara kasar seperti kuli pelabuhan? Menggunakan Cruciatus, misalnya. Atau meng-Imperio pemuda Asia itu untuk menjatuhkan dirinya sendiri dari menara Astronomi. Atau apapun yang tidak mengharuskannya mengotori tangannya sendiri.

And her tears made him being more miserable. Melihat butiran bening itu berjatuhan tanpa henti dan suara terpatah-patah gadis itu karena masih terisak, amarah Rigel kembali menggelegak —dan merasa menyesal sekaligus amat sangat bodoh di saat yang sama. Kepalan tangannya bergemeretak, berusaha menekan amarah yang mungkin akan membuatnya melakukan entah-apa yang lebih merusak. Dan untunglah Pavarell brengsek itu sudah menghilang dari hadapan mereka dengan ekor terkulai di antara kedua kakinya. Emosi Rigel pada pemuda itu sudah mencapai taraf yang bisa membuat Rigel mendatangkan seekor Naga Ekor-Berduri dewasa, dan mengumpankan Pavarell. Ibu jari Rigel dengan lembut menghapus butiran bening itu dari pipi Janette. Lembut. Mengingatkan Rigel akan marshmallow yang selalu dipanggangnya di perapian Palais du Noir saat musim dingin di masa kanak-kanaknya. Menyadari Janette tidak keberatan ketika Rigel merangkulnya, dia merasa lega. Dibimbingnya gadis itu melewati lubang dinding pintu masuk asrama.

"Rigel, kau seharusnya tidak memukul Pavarell." Pemuda itu menyeringai miris. Jane, tahukah kau kalau ucapanmu itu malah menambah berat penyesalanku? Dan Rigel hanya bisa membisu. Merasakan dingin tubuh Janette yang bersandar padanya. "Badanmu dingin sekali. Sini, duduk dekat perapian," katanya, dan membawa gadis itu duduk di sofa depan perapian. Iya. Dia sadar kalau kata-katanya itu bukanlah jawaban atau sanggahan atas perkataan Janette. Malah, terdengar lebih seperti mengalihkan topik pembicaraan. Entahlah. Rigel sendiri tak tahu harus berkata apa. Membela diri? Memaki Pavarell? Hell.

Pecundang.

Oh, akuilah Rigel, kau hanyalah seonggok pecundang yang bergerak tanpa berpikir terlebih dulu. Pecundang yang berlagak seperti seorang pangeran gagah berkuda putih yang menghunuskan pedangnya demi menyelamatkan sang Puteri, tapi ternyata hanyalah onggokan pecundang tak berotak. Dan kau masih belum juga sadar kenapa Rigel bisa menyesal seperti ini? Satu: Janette bukanlah gadisnya. Terlebih lagi, dia bukan milik siapa-siapa. Dia bebas. Jadi siapa dia, berhak memukuli pria lain yang menyentuh kedua bibir ranum itu? Apa matamu buta? Tidakkah kau lihat Pavarell mabuk berat sampai tidak sadar siapa yang diciumnya? Aku tak bisa membiarkan Janette dicium orang semacam itu! Yeah. Tetap saja, Rigel bukanlah siapa-siapa. Hanya seseorang yang kebetulan dekat dengan Janette.
Dua: Suka tidak suka Kane Dietrich Pavarell adalah seniornya. AbdiNya, yang meskipun bertentangan dengan nurani remaja tanggung itu karena Pavarell brengsek dan selalu memasang ekspresi apa-kau-lihat-lihat-kucolok-matamu itu, dia adalah abdiNya. Abdi Sang Pangeran Kegelapan nan agung. Abdi seseorang yang dipujanya.

Dan tiga: Demi Dewa Neptunus sang Penguasa Lautan, tolong kirimkan ombakmu yang terbesar untuk membersihkan kerak yang menutupi otak Rigel, agar dia ingat kalau dia adalah Prefek. Terlebih, ini malam pertamanya menjalankan tugas resmi sebagai Prefek. Dan dia sudah menghancurkannya, dengan bertindak gegabah dan berlagak seperti tukang pukul bayaran. Sempurna. Dia tak akan heran kalau besok pagi Dumbledore memanggilnya ke kantornya, dan mencopot lencana Prefeknya.

Embusan napas panjang keluar dari hidung pemuda itu. Berat. Tangannya membelai rambut halus Janette, berusaha mengulur waktu untuk menjawab. "Maaf," bisiknya parau. Dan kenapa malah kata itu yang keluar? "Gelap mata, yeah. Aku emosi dan sakit hati melihat dia mencium paksa dirimu, dan detik berikutnya aku bahkan tak sadar apa yang kulakukan," penyangkalan? Mungkin. Entahlah. Rigel meletakkan dagunya di puncak kepala Janette, dan mereguk aroma khas gadis itu, membiarkannya merasuk melalui kedua hidungnya, dan menenangkan otot-ototnya yang tegang.

Tahukah kau, Jane, kalau aku sakit hati melihatnya menciummu? He beats me. Dia mencurimu dariku. Dia mencuri dirimu yang sangat berharga untukku.

Rigel mengangkat kepalanya, menatap kedua bola mata sembab Janette. Berusaha menghiraukan rasa pedihnya setiap kali melihat kedua mata itu sembab. "Kau marah?"


Thread Here, Ruang Bawah Tanah, 1978. Post ke-2. Timeline setelah Pesta Awal Tahun Ajaran 1978/1979.

Interaksi dengan Kane Dietrich Pavarell, Shaula Khan, dan Janette Blizzard.

Here #1

Tahu sesuatu yang disebut insting? Atau firasat, atau naluri, semua itu sama saja. Well, dia tinggal bertahun-tahun dengan tiga orang wanita yang selalu meributkan mengenai sesuatu yang mereka sebut sebagai 'insting wanita', jadi jangan salahkan Rigel kalau lama kelamaan dia sedikit banyak memperhatikan firasatnya. Terutama kalau dia merasakan sesuatu yang buruk akan datang.

Dan malam ini perasaan itu menghinggapinya begitu tiba-tiba.

Kalau saja dia bisa, Rigel ingin menyerahkan tugas mengantar anak-anak kelas satu ini ke asrama pada Prefek lain dan bergelung di dalam selimutnya, mencoba menyingkirkan perasaan tidak enak yang menyapanya tiba-tiba. Slytherin punya empat Prefek, dan, well, meski berat mengakuinya, satu Ketua Murid, jadi, kenapa harus dia dan Goscinny yang membawa barisan bocah-bocah ini seperti guru Taman Kanak-Kanak? Sekalian saja beri dia maraccas, dan suruh dia menyanyikan lagu anak-anak. But—yeah, dia memerlukan lencana itu tetap berada di tangannya, jadi dia tak bisa melempar tugasnya begitu saja. Mon Dieu.

Ekor matanya menangkap sosok Janette yang juga ikut rombongan mereka keluar Aula Besar. Timah yang menggelayuti perutnya seketika bertambah berat dan menggelegak. Taruhan seratus Galleon, ini ada apa-apanya dengan Pavarell. Seseorang dalam tubuhnya meneriakkan kata-kata perintah untuk tetap di luar dan menemani gadis itu saat Janette menelengkan kepalanya, menyapa Rigel yang berdiri di depan tembok batu berlumut kehijauan —pintu masuk Asrama Slytherin, kalau kau belum tahu— sebelum pemuda jangkung itu membisikkan kata kuncinya. Ragu. Jelas-jelas seluruh anggota tubuhnya, bahkan pikirannya, meneriakkan satu perintah yang sama: Ajak Janette masuk. Atau temani dia, kalau gadis itu berkeras untuk tetap menemui Pavarell.

Terkadang kenyataan tak mengizinkan semua keinginan manusia terwujud. Melawan nalurinya, Rigel menyunggingkan senyum perpisahan pada Janette. Mengikuti anak-anak kelas satu masuk, dan menerangkan pada mereka di mana kamar mereka—serta membacakan peraturan dalam asrama. Persis seperti lima tahun lalu: hanya saja, kali ini Rigel yang memberikan instruksi. Dan —demi sesuatu yang disebut 'menghargai privasi orang lain'— Rigel memilih mengawasi Janette dari ambang pintu asrama. Melawan seseorang dari dalam dirinya yang terus menerus memaki-nya stupide karena tidak menarik Janette masuk.

All hail Lucifer the King of the Devil.

Bahkan kalau kau merebus Rigel di dasar neraka terdalam, rasa bersalah itu tak bisa hilang. Karena, guess what? He probably had done the biggest mistake in his life. Rien! Sial! Sial! SIAL! Bodoh! "Jane!" seru Rigel begitu keluar dari Asrama. Seseorang dalam dirinya kini mengalirkan kekuatan yang cukup besar pada kedua tangannya.

"YOU!" umpat Rigel—kedua tangannya menarik kerah kemeja idiot pemabuk itu.
"FILTHY—!" satu pukulan.
"—IDIOT—!" itu dua.
"—PATHETIC—!" itu tiga.
"—DRUNKER!!" empat. Empat tinjunya melayang sekuat tenaga, satu-satu seiring kata-katanya ke wajah tampan Pavarell. Haruskah dia tambahkan, hidung itu tak akan lurus lagi setelah beberapa pukulan darinya?

"Sebelumnya aku menaruh sedikit hormat padamu, terlebih karena kau adalah abdi-Nya. Ternyata aku salah, eh?" desis Rigel rajam, suaranya sarat dengan amarah yang membara di matanya. Tak pernah dia berbicara sekejam ini pada seorang Pureblood. "Sampah. Pengecut menyedihkan yang lari pada minuman keras karena kehilangan kekuasaan," Rigel menggertakkan giginya. Seolah belum puas, tinjunya kembali melayang. Lima. "Sudah sadar dari mabukmu, sekarang? HAH?!" Enam. "Sampah! Sekotor Muggle! Kau layak dihancurkan dengan cara Muggle!" Tujuh. Total tujuh tinju sarat dengan kekuatan seorang pemuda murka mendarat di wajah dan ulu hati anak Asia itu.

Seolah jijik dengan kata-katanya sendiri, Rigel melepaskan cengkeramannya di kerah baju Pavarell, dan mendorongnya keras, membuat pemuda Asia itu jatuh tersungkur. Tepat di kaki seorang gadis yang baru Rigel sadari keberadaannya di sana kira-kira lima detik yang lalu.

"Sekarang kau sadar kalau pacar kecilmu ini tidak sesuci kelihatannya, Miss Khan?" ujarnya kasar. "Kalian berdua punya banyak hal untuk dibicarakan, tampaknya," kesinisan semakin terasa di setiap kata-katanya. Rigel berbalik. Dia sudah muak bahkan hanya melihat wajah menyedihkan Pavarell. Sosok Janette terlihat rapuh di hadapannya dengan air mata membasahi seluruh wajahnya. Dipikir-pikir lagi, baru kali ini Rigel melihat gadis itu menangis. Sial. Pemikiran itu malah menambah rasa bersalahnya, membuatnya semakin menjadi-jadi.

"Kau tak apa, Jane?" tanya Rigel penuh kecemasan. Perlahan, disentuhnya kedua bahu gadis itu yang terpaku bersandar ke dinding. Merlin, hukum aku yang membiarkannya berduaan dengan setan pemabuk itu, batinnya miris. "Kita masuk sekarang, ya?" tawarnya, masih dengan suara penuh kelembutan. Perlahan, seolah memperlakukan porselen mahal dari Cina, Rigel merengkuh tubuh gadis itu. Berharap bisa melakukan sesuatu untuk menebus rasa bersalahnya.

"Maafkan aku. Tidak seharusnya kutinggalkan kau berduaan dengan bajingan pemabuk itu," sesalnya. Penyesalan yang tak akan bisa hilang.


Thread Here, Ruang Bawah Tanah, 1978. Post ke-1. Timeline setelah Pesta Awal Tahun Ajaran 1978/1979.

Interaksi dengan Kane Dietrich Pavarell, Shaula Khan, dan Janette Blizzard.

Giliran gw yang ngepost sekarang, fufufu. Cuma pingin majang beberapa signature abalan keluarga du Noir yang sesiangan tadi gw bikin dan mengakibatkan laptop ngehang, seperti biasa, karena HD gw kepenuhan . Belom semua, sih. Beberapa masih gw cari pic rendernya. Here we go, siggy abalan bikinan gw sang amatir inih :->

1. Xavier Thibault du Noir

Bokapnya Rigel, visualisasi John Malkovich. Pic aslinya close up, kecil pula. Bikin gw bingung diapain, akhirnya di-duplicate ajalah, teknik paling abal, huakakak. Tambah texture dan di-duplicate 2x, bagian selain latar di-blur biar mukanya mulus tanpa noda keliatan jelas. Font-nya.... aduh gw keknya bener-bener kudu nyari font handwriting yang oke -.-a


2. Eléonore Margaux Grimaldi du Noir

Nyokapnya Rigel, visualisasi Miranda Otto. Ini juga, kebanyakan pic-nya close up dengan ukuran dibawah 500 px. Jujur gw bingung ngakalin yang pic-nya segede gituan doang, bruakakakak. Maklum masih amatir :3. Yang ini BG-nya kosong banget, dan gw kaga ada texture yang cocok buat BG-nya itu. Begitu pula sama texture bokeh-nya, keknya kaga cocok dah :-? Aneh sumpah, padahal koleksi texture gw ada banyak, termasuk lighting. Tapi pas dimasukin ke siggy-nya.... erh. Kaga ada yang cocok =___=" Quote-nya yang juga sukses bikin gw kicer nyariin quote yang pas diambil dari lagunya Within Temptation, Our Promise. SUBHANALLAH YA TUHAAAAANNN INI BAND GILA KEREN MANGSTAB AJIB MAMPUSSSS!!!!!!!!!!!!!! LO SEMUA KUDU DENGERIN!!! POKOKNYA KUDU DENGERIIIINN!!! Ehm. Maaf, sisi liar gw mulai memberontak.

3. Callista Dorian Grimaldi du Noir

Kakak pertama Rigel, visualisasi Kate Bosworth. Keknya gw salah pilih pic deh ==a Pic aslinya emang burem dan berbintik-bintik, tapi rambutnya lagi bergelombang dan panjang, cocok buat image-nya Callista. Sukses bikin gw DB berat juga kapan juga sih gw kaga DB? Ancur lah pokoknya yang inih ==a Kapan-kapan gw ganti lagi dah.

4. Coraline Ronja du Noir

Chara tambahan yang sebelumnya kaga direncanain, ide mendadak dari Bagas. Dia sepupunya Rigel dari pihak ayah, anak dari Jean-Baptiste, adiknya Xavier. Nama Coraline gw yang ngasih, gw lagi suka nama itu :3 Kalo jadi, nih chara dimasukin term depan. Visualisasi Taylor Swift udah ada yang pake belon sih di IH? Siggy yang ini yang paling gampang dan gw kaga DB saat bikinnya. Kasih 1 texture parchment sama 1 texture yang dipake di kedua siggy sebelumnya, trus tambah text. Kendalanya, lagi-lagi, di font sama texture bokeh ==a ARH..... kok susah amat yak nyari font sama texture yang cocok? Huhuhuhu *pundung di pojokan*

4. Rigel Deveraux Grimaldi du Noir

Sang oknum Rigel, visualisasi Ed SPeleers keknya udah pada tau semua dah yah? Bruakakak Ini siggy gw bikin beberapa hari lalu. Cacat abis, yeah. Sekali liat juga ketauan ==* Ijo-nya terlalu pekat, dan lagi-lagi, texture bokeh-nya kaga ada yang cocok. Sigh. Padahal gw demen banget sama pic yang ini. Quote-nya dari lagu The Click Five, Addicted to Me. Cocok lah buat Rigel xD

5. Celeste Rosaline Freull du Noir

MAI BEIBEEEEEEEHHHH!!!!!!!!! *peluk-peluk* Ehm. Chara pertama paling pertama-pertamanya gw di dunia RPG, visualisasi Amy Lee. Iyeh, tau, tua. Bahkan lebih tua dari Ed Speleers yang merupakan visualisasi ayahnya, muakakakak. Tapi gw demen sih sama Amy Lee. Gothic, trus selalu pake gaun. Bener-bener pas sama image Celeste di kepala gw. Well, sebenernya lama setelah gw maenin Celeste, gw baru tau ada artis J-Rock yang namanya Olivia Lufkin, dan lebih cocok sama image-nya Celeste. Blasteran Jepang, pula. Tapi sudahlah... terlanjur satu image sama Amy Lee sih xD Siggy yang ini siggy yang paling gw suka, kesannya dark-dark gimanaaaa.... gituh. Dibikinin sama Manda, dalam rangka masa-masa gelap-nya Celeste *prikitiw* saat di Hogsid dulu. Sayang belon sempet dipajang. Hiks. Gw pajang di sini aja dah. Tengs yah Mand :-*

Lainnya, nyusul =)) Clémence belon gw bikin, susah nyari pic Diane Kruger dan Yukie Nakama yang posenya rada normal dikit dan pake baju =__=*

Halloween Party #5

Rigel terus berjalan dan berjalan, matanya menatap lurus ke depan, tanpa melirik sedikitpun pada McFadden yang berjalan beriringan di sampingnya, meski tangannya masih menggenggam tangan kanan McFadden. See? Di mana lagi kau bisa menemukan pria yang begitu pengertian seperti Rigel? Dia tahu kalau McFadden masih terkejut dengan ciuman itu—kau bisa melihatnya dari ekspresi gadis itu yang seperti habis ditampar setelah ciuman itu berakhir—dan perlu waktu untuk menenangkan dirinya. Oh, Rigel juga tidak melupakan kalau McFadden membalas ciumannya dengan sama bergairahnya. Rigel tak melupakan pipi McFadden yang bersemu merah meski berekspresi seperti ingin menampar dirinya. Kesimpulannya: McFadden juga menyukai ciuman itu.

"Noir, about that dance," Kata-kata pertama yang keluar dari bibir gadis itu setelah mereka berciuman. Rigel akhirnya menoleh, mendapati kalau McFadden sudah meletakkan tangannya di atas pundak Rigel. Alisnya terangkat sebelah. Yakin ingin berdansa di sini, eh? Rigel tak keberatan, jelas. Meski dia lebih menyukai berdansa berdua saja di Ruang Rekreasi atau-Kamar Kebutuhan, mungkin? Siapa tahu dia bisa mendapatkan ciuman kedua. Rigel berayun mengikuti gerakan tubuh McFadden, musik yang sama sekali bukan musik waltz mengiringi dansa mereka. Sama sekali bukan masalah. Dengan cepat mereka berua bisa menyesuaikan rima dan tempo dengan musik yang dipersembahkan Klub Musik. Hm. Satu lagi kelebihan McFadden dibanding gadis-gadis lainnya. Gadis ini pintar berdansa.

"Monsieur Noir. That kiss—you will not do it again," Sebentuk senyuman tersungging di wajah Rigel. "A-hah, atau apa, Mademoiselle?" tantangnya. Or I'll make sure you will never see the sunrise again," Tolong jangan buat Rigel tertawa terbahak-bahak. Dia berbisik lirih ditelinga gadis itu, "Koreksi aku kalau aku salah, Mademoiselle, tapi—kau menyukainya—I can see that. Untuk apa mengekang dirimu sendiri kalau kau menginginkannya?" Rigel membalas ucapan gadis itu telak. Plaisez, dia Rigel du Noir. Kalah dari seorang perempuan tak ada dalam kamus seorang Rigel du Noir. "Kau akan menginginkannya lagi. Saat itu tiba, kau akan datang sendiri padaku," tambahnya lagi.

"Akhirnya kita berdansa juga di pesta Halloween, Monsieur Noir," senyuman manis mengiringi kata-katanya, membuat sebuah senyum di wajah Rigel merekah pelan. Kau tahu? Pergi bersama seorang senior ternyata bukanlah sebuah ide buruk. Malah, mungkin, bisa dibilang hampir sempurna. Ingatkan dia untuk memasukkan nama McFadden dalam daftar siapa-gadis-yang-harus-dia-ajak-untuk-jadi-pasangan kalau nanti sebuah pesta lain dilangsungkan. "Sebuah kehormatan bagiku bisa berdansa denganmu, Mademoiselle," jawab Rigel.

This is Halloween, this is Halloween
Halloween! Halloween! Halloween! Halloween!
Halloween! Halloween!


Yeah. Ini Halloween. Halloween seorang du Noir. Dia bersenang-senang dengan caranya.

Sepertinya hanya du Noir yang bisa merubah Halloween menjadi ajang Pesta Dansa.


Thread Halloween Party, Dedalu Perkasa, 1977. Post ke-4.

Interaksi dengan yang disebutkan di atas. Song Credits: This Is Halloween.

Halloween Party #4

"Pertanyaan apa yang tidak akan pernah bisa kalian jawab iya?"

Rigel terpekur memikirkannya. Well, untuk saat ini sebenarnya banyak hal yang tidak ingin dia jawab iya. Misalnya, bila dia ditanya apakah dia ingin tinggal di Rumah Hantu ini selamanya. Atau apakah dia bersedia berciuman dengan hantu pria berewokan itu di bawah mistletoe. Ew. Memikirkannya saja Rigel sudah ingin muntah. Masih ada sejuta orang lain yang lebih baik untuk dicium di bawah mistletoe selain pria tua pucat berewokan dengan bau menusuk dan... er, apa itu dagingnya yang mengelupas di wajahnya? Yucks. McFadden, misalnya. Speaking of that— Rigel mencuri pandang penuh arti pada gadis di sebelahnya itu. Sebuah seringai samar tak kentara terbentuk di wajahnya.

"Pertanyaan apa yang tidak akan pernah bisa kalian jawab iya?"

Tok, tok. Hello, Monsieur Rigel. Sebaiknya segera kembalikan pikiranmu ke alam nyata saat ini juga, karena apa? Karena kau sedang terjebak dengan indahnya di dalam sebuah ruangan aneh penuh ramuan yang pasti tak kalah anehnya bersama sesosok pria tua sinting yang dia masih belum yakin apakah itu hantu, poltergeist, mayat hidup, atau manusia. Bahkan McFadden pun setuju dan berkomentar tentang kalau orang itu gila, dan berdiri semakin rapat dengannya. Rigel mengerdipkan matanya pelan, dan kembali memikirkan pertanyaan pria tua itu. Ekor matanya menangkap sebentuk tengkorak di tangan si pria tua, dan—ergh. Mereka saling berbisik. Rigel memutar bola matanya. Rasanya seperti melihat dua orang gadis tukang gosip sedang berbisik-bisik berbagi gosip.

Kedua partnernya tak memberikan bantuan berarti dalam menjawab pertanyaan ini. Rigel mendengus kesal. Okelah, dia maklum kalau McFadden terdiam, mungkin saking ketakutannya gadis itu tak bisa berpikir apa-apa selain berkomentar kalau orang itu sudah gila. Tapi Reiflein? Oh, please. Kalau pemuda itu juga tak berbicara karena membeku saking ketakutannya, Rigel punya bahan tertawaan bagus untuk seluruh Slytherin sampai Chaser itu lulus dari Hogwarts. "Bantu berpikir apa jawaban yang dia minta, bisa kan? Kecuali kalau kalian ingin tinggal di sini selamanya," akhirnya kata-kata itu terucap dari mulut Rigel.

TEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEET!!

Suara panjang bel terdengar bergema di seluruh ruangan. Mau tak mau Rigel terkejut. Geez. Apa lagi ini? Suatu sinyal-kah? Sebab—Rigel mendapati pria tua dengan cengiran sinting di wajahnya itu tiba-tiba terjatuh dan tertidur. Alisnya terangkat sebelah. Apa ini berarti waktu bermain-main di Rumah Hantu sudah selesai, hm? Well, sayang sekali kalau begitu. Rasanya mereka baru saja akan memulai permainan. Apa ini karena mereka datang terlambat ke Pesta Halloween?

Rigel menyadari sebuah pintu tiba-tiba menjeblak terbuka di belakang si pria tua dengan cengiran sinting di wajahnya itu. Dan—oh! Mereka tiba-tiba bisa bergerak kembali. Sepertinya benar, kalau begitu. Sudah waktunya bagi mereka untuk keluar ruangan. Dia pun mendapati McFadden merangkul lengannya erat saat bunyi bel itu terdengar, dan buru-buru melepaskannya dengan gugup. Roda-roda otak Rigel berputar cepat. Sebelum McFadden sempat melangkah Rigel menarik lembut tangannya, melingkarkan tangan kanannya di pinggang ramping McFadden—dan menciumnya. Tepat di bibir.

Mm—not bad, batin Rigel. Yeah, kapan lagi dia bisa mencium bibir McFadden yang terkenal itu? Rigel yakin ini bukanlah ciuman pertama McFadden—ayolah, dia sudah kelas enam! Keterlaluan kalau belum pernah berciuman. Terutama tahun lalu, saat Pesta Dansa. Rasanya hampir semua pasangan, bahkan anak-anak ingusan yang masih kelas dua atau kelas tiga, sudah berciuman. Tak masalah. Toh ini pun bukan saat pertama baginya. Rigel tak mempermasalahkan dengan siapa McFadden pernah berciuman sebelumnya. Yang penting—saat ini McFadden adalah miliknya. Dan dia tidak salah memilih orang untuk dicium. Rigel memejamkan matanya, berusaha menghirup sebanyak mungkin aroma khas tubuhnya. He wants to capture the taste of her little delicate lips, forever. Rasa manis bibirnya membuat Rigel lupa kalau mereka sedang berada di dalam Rumah Hantu—oh, dan dengan Reiflein berdiri di samping mereka, menonton seluruh adegan ciuman mereka. Tapi—memangnya dia peduli?

And after some times that seems to be forever—they've broke. Wajah Rigel masih berada begitu dekat dengan McFadden, ujung hidungnya hampir menyentuh kulit lembut McFadden yang bagaikan kaca. Rigel menarik napas dalam-dalam, menghirup aroma khas McFadden yang hampir membuatnya mabuk kepayang sebanyak-banyaknya. Tangan kanan Rigel menyentuh dagu McFadden, Ibu jarinya mengelus pelan bibir mungil gadis itu yang merekah merah. Sebentuk senyuman melengkung di wajahnya.

"There's something that we shouldn't missed under the mistletoe," katanya, tatapan matanya masih terkunci di kedua bola mata hitam milik McFadden. Dia kembali menggamit tangan McFadden, mengenggamnya lembut. Dia mengangguk saat McFadden mengajak mereka keluar, dan menarik tangan gadis itu. "Kau juga, Reiflein. Kecuali kalau kau masih ingin menemani pria tua sinting itu," katanya santai tanpa menoleh lagi ke arah Chaser Slytherin itu. Peduli setan kalaupun nanti dia marah. Bukan urusannya.

Dia mendapati sebuah selasar mirip dengan selasar sebelumnya terbentang di depan mereka. Rigel menyusuri selasar itu hingga mendapati sebuah tangga kayu reyot—menuruninya, kembali menyusuri lorong gelap berdebu penuh sarang laba-laba, hingga—akhirnya. Pintu keluar. Rigel memutar pegangannya yang sudah berkarat dan menariknya.

Udara malam terasa amat sangat segar setelah begitu lama terperangkap di dalam ruangan pengap penuh bau tidak jelas. Rigel menarik napasnya dalam-dalam, membersihkan kembali paru-parunya yang tercemar oleh bau bensin, debu, dan jamur di dalam rumah itu. Samar-samar terdengar suara sekelompok orang menyanyi. Ah, ya. Pesta masih belum selesai rupanya. Di depan mereka tampak sekelompok orang berkerumun, dengan sekelompok lain berdiri terpisah, memakai topeng di wajah mereka. Klub musik, eh? Rigel melirik kedua partnernya sekilas dan meneruskan berjalan menuju kerumunan itu.

"Parfummu wangi, McFadden. Cocok untukmu," ujarnya lirih di telinga gadis itu.


Thread Halloween Party, Dedalu Perkasa, 1977. Post ke-4.

Interaksi dengan yang disebutkan di atas.

Halloween Party #3

Boleh saja McFadden menyembunyikan wajahnya dengan alibi apapun. Boleh saja McFadden menyembunyikannya di balik tawa kecil yang dia perdengarkan. Mata Rigel yang jeli tetap dapat menangkap rona kemerahan yang menyemburat di kedua pipi pucatnya sebagai respon atas perkataan Rigel sebelumnya. Bibir Rigel melengkung, membentuk sebuah seringai penuh arti sembari matanya tertuju pada Rumah Hantu yang akan mereka masuki. Tanpa memandang lagi pada McFadden, mereka menuju Rumah Hantu dengan tangan kanan McFadden tergenggam mantap di tangan kirinya.

Langkah mereka terhenti saat sebuah suara memanggil nama McFadden. Atsuko Reiflein, Chaser Slytherin, tahun keenam. Well, kebetulan saja Rigel tahuJustify Full, namanya disebut tiga kali dalam setahun di lapangan Quidditch yang selalu dia kunjungi setiap pertandingan. Dia tidak pikun, please. Rigel menaikkan alis kirinya melihat penampilan Reiflein. Persis orang yang baru sadar dari mabuk dan tak ingat dia sedang berada di mana dan sedang melakukan apa. Ditambah kostumnya yang sama sekali tidak sesuai dengan tema, membuat dia semakin terlihat memiliki gangguan otak.

"Euh.. Noir. Apa kau tidak apa-apa jika Atsuko ikut bersama kita?" Rigel mengedikkan bahunya isyarat tidak-apa-silakan-saja-asal-dia-tidak-mengacau-atau-apalah. Oh, yeah. Reputasi Reiflein—terutama di kalangan para Slytherin—lebih daripada sekedar Chaser Tim Quidditch Slytherin. Kau tahu apa maksudnya. "Ayo masuk. Kita tidak diharapkan untuk berdiri terus di sini sampai pagi," tambah Rigel. Sempat tertangkap ekor matanya McFadden yang menggamit lengan Reiflein. Rigel kembali menaikkan sebelah alisnya sebelum dia mengingatkan dirinya sendiri untuk tidak bersikap berlebihan. Avance. Jangan biarkan siapapun membuatmu bertindak norak dan memalukan di depan umum.

Udara di dalam Rumah hantu lembap dan apak. Sarang laba-laba menggantung dimana-mana, kertas pelapis dinding terkelupas, menampakkan permukaan plester pelapis, hancur di beberapa bagian, memperlihatkan bata penyusun. SUmber penerangan hanya dari beberapa batang lilin yang menyala di tempat lilin yang menempel di dinding. Rigel menaikkan sebelah alisnya. Begitu bodohnyakah para panitia hingga mereka tak diperbolehkan memakai Lumos, dan diharapkan meraba-raba dalam kegelapan? Oh, please.

Rigel bisa merasakan McFadden bergerak agak ke belakang saat mereka berjalan masuk. Tangan kirinya meremas lembut tangan kanan McFadden, meyakinkannya kalau tak akan ada hal buruk yang terjadi. Apa sih yang bisa disediakan sekumpulan cecunguk berusia tak lebih dari tiga belas tahun? Well, harus dia akui set Rumah Hantu dan segala kuburan serta aksesorisnya ini cukup lumayan. Tapi Rigel tidak berharap lebih dari itu.

Mereka terus berjalan, sesekali mencoba membuka beberapa pintu yang tertutup. Beberapa terkunci, beberapa jelas-jelas terdengar jeritan atau apalah, menandakan kelompok lain ada di dalam. Berjalan semakin jauh dan semakin jauh, mereka akhirnya tiba di depan sebuah tangga yang sepertinya menuju ke lantai dua. Rigel melirik kedua teman sekelompoknya, memberi tanda naik-saja-atau-kita-lumutan-di-sini. Hati-hati, Rigel melangkah naik. Tangga kayu reyot itu berderak setiap kali kakinya menapak. Rien. Jangan sampai tangganya ambruk saat mereka masih menaikinya.

Sebuah koridor panjang dan gelap, dengan kondisi hampir sama seperti lantai di bawah terbentang begitu mereka tiba di lantai dua. Ralat. Agak sedikit berbeda. Udara di sini sedikit tercampur bau cairan pembersih murahan, serta bau sesuatu yang dia kenali sebagai bau bensin. Bahan bakar untuk kendaraan Muggle, yeah, tentu saja dia tahu, dari mana lagi kalau bukan dari Père-nya yangtercinta? Bau bensin itu semakin lama semakin kuat saat mereka berjalan, hingga tiba di ujung koridor dimana terdapat pintu kayu dengan handle berkarat. Mengerling pada kedua partnernya, Rigel membuka pintu itu.

Bau bensin dan cairan pembersih murahan menyengat begitu mereka masuk. Jadi sumber bau itu dari sini? Berbeda dengan ruangan di bawah, dinding dan lantai ruangan ini dari batu hitam licin berlumut. Rak-rak kayu reyot berjejalan miring, dimuati guci dan botol pelbagai ukuran. Rigel hampir muntah melihat sesuatu yang tergantung di dinding di samping kirinya. Foto Potter?! Yang benar saja! Berikutnya apa, muncul di cover buku Hewan-Hewan Fantastis dan Di Mana Mereka Bisa Ditemukan? Sepertinya iya. Potter sudah dikategorikan sebagai dark creatures dengan dipasangnya foto dirinya di RUmah Hantu.

Rigel merasakan tangan McFadden bergelayut di lengan bajunya. Mulai ketakutan, eh? Rigel meremas lagi tangan McFadden, menenangkannya. "Tenanglah, tak perlu ketakutan. Kau bersama dua orang pria yang bisa melindungimu kalau ada apa-apa," ujarnya. Dia kemudian merangkul McFadden sesaat. "Jangan jauh-jauh dariku," tambahnya karena McFadden semakin mundur. Rigel terpaksa berhenti sejenak, menyesuaikan langkahnya dengan McFadden. Saat kakinya kembali hendak melangkah, ingin memeriksa isi ruang—

TUNGGU DULU! Kenapa dia tiba-tiba tak bisa bergerak?! Matanya nanar menyisir seluruh isi ruangan. Tak ada apapun yang aneh. Memutuskan untuk mendongak ke atas, Rigel mendapati sesuatu ebrgelantungan di seluruh langit-langit. Dia tertawa hampa menyadari apa itu. Mistletoe. YANG BENAR SAJA! Dasar anak-anak ingusan tak berotak! Ini Halloween atau Pesta Natal?!

Dia tersentak saat sesosok pria dengan seluruh rambut di kepalanya tumbuh tak beraturan serta mencuat kemana-mana (baca: rambut, kumis, jenggot, cambang, bahkan mungkin bulu hidungnya juga) tiba-tiba muncul di hadapan mereka, mengaduk sesuatu yang menguarkan asap tipis membubung. Sekilas Rigel yakin dia mencium wangi bunga yang sebelum nya pernah dia cium. Tapi dia tak ingat bunga apa dan di mana. Rigel menggelengkan kepalanya pelan. Untuk apa dipikirkan, heh?

Pria itu menatap mereka dengan tatapan aneh disertai seringai mengerikan. Rigel riba-riba merasa jengah ditatap begitu lama oleh seseorang yang nampaknya adalah hantu. Telunjuk pria itu tiba-tiba menunjuk ke arah salah satu dinding. Rigel mengayunkan pandangannya: sebuah tulisan yang nampaknya terbuat dari darah—Rigel yakin masih melihat tulisannya mengalir.

"Pertanyaan apa yang tidak akan pernah kalian bisa jawab iya?"


Rigel mengerutkan keningnya. "Maksudnya kita harus menjawab pertanyaan itu?" tanya Rigel pada kedua rekannya. Terus terang dia bingung. Ini benar-benar di luar dugaannya. Tadinya dia mengira akan ditakut-takuti dengan sejumlah hantu norak. Dia sama sekali tidak mengira para hantu itu akan memberi mereka pertanyaan. Pertanyaan yang tak akan bisa kujawab iya? Pertanyaan macam apa itu? "Pertanyaannya menjebak. Bagaimana menurut kalian?" kembali Rigel bertanya pada kedua rekannya.


Thread Halloween Party, Dedalu Perkasa, 1977. Post ke-3.

Interaksi dengan yang disebutkan di atas.

Halloween Party #2

Sungguh tidak seharusnya pesta seorang Rigel du Noir terganggu hanya karena melihat dia pergi dengan orang lain, bukan dengannya. Come on, Rigel. Apa yang harus kau keluhkan? Kau pergi dengan gadis yang tak kalah hebatnya dengan dia! Yeah. Gadis yang dia ajak atas nama kenekatan. Sepertinya atmosfer Bulan Oktober memang sedang merasuki otaknya kali ini, karena dia melakukan kegilaan itu. Mempertaruhkan harga dirinya dengan mengajak seorang gadis yang bukan hanya dua tingkat di atasnya, tapi juga tidak begitu akrab dengannya.

Seharusnya dia sadar, Halloween tidak sama dengan Pesta Dansa. Seharusnya kata-kata itu tercetak besar-besar di dalam otak Rigel. Mengikuti standar kalangan umum, Halloween seharusnya waktu untuk bersenang-senang dan menggila, bukan untuk berdansa atau ber-romantis ria. But, hey! Lupakah kau kalau yang sedang kita bicarakan di sini adalah Rigel? Karena—dia—adalah—Rigel du Noir.* Pergi dengan para gadis juga merupakan salah satu cara untuk bersenang-senang. Dan menggila. Jadi, nikmati sajalah. Tidak semua orang bisa berhasil mengajak seorang gadis cantik terpelajar. Terlebih kalau dia lebih tua dua tahun darimu. And he must say, Recha McFadden tak sama seperti para gadis kebanyakan.

"Beautiful as always, Mademoiselle. Tak salah aku memintamu untuk pergi bersamaku ke Pesta Halloween. Bolehkah aku mengharapkan satu dansa setelah pesta selesai?" sebuah sapaan, diikuti oleh seulas senyum memuji, tak lupa kecupan ringan di atas punggung tangan kanan si gadis. McFadden menanggapi dengan senyuman, semburat kemerahan muncul di pipinya, membuatnya semakin manis. Sudut bibir Rigel tersungging kecil.

"About the dance. Menurutmu kita akan berdansa dengan lagu hantu?"

"Berdansa berdua saja, maksudku," Rigel menekankan kata-katanya, matanya menatap dalam kedua bola mata hitam itu. Berusaha membuatnya mengerti. Ya, ya, tak mungkin kan mereka menyelipkan satu sesi dansa di Pesta Halloween? Rigel tak yakin anak-anak itu termasuk golongan orang-orang yang senang berdansa.

Sepertinya tidak buruk juga pergi dengan McFadden. Gadis ini tahu tata krama, serta terpelajar. Bukan seperti gadis-gadis kebanyakan. Dia bersiul dalam hatinya. Yeah. Spesial.

Cukup untuk membuatnya melupakan amarah menggelegak yang sesaat dirasakannya saat melihat dia pergi dengan orang lain. Benar juga. Nikmati sajalah.

Rigel tersenyum tipis mendengar tanggapan McFadden saat dia meminjamkan jubahnya. "Yeah, di dalam Kastil jauh lebih hangat, wajar kalau kau tak sadar. Nevermind, kau bisa melepasnya kalau kepanasan di dalam Rumah Hantu nanti," timpalnya. Dia kembali tertawa mendengar tanggapan McFadden tentang candaannya. "Tak mungkin Dumbledore mengizinkan mereka memasukkan Dementor ke sekolah," jawabnya ringan. Oh, please. Dumbledore terlalu baik hati untuk hal itu. "Takut padamu, hm? Aku tak merasa begitu. Takut menghadapi kenyataan kalau mereka sudah mati sementara kau masih hidup, cantik, dan pergi dengan pasangan setampan diriku, mungkin iya," tambah Rigel lagi. Dia menggamit lengan McFadden, dan bersama mereka masuk.

"Be ready, then."


Thread Halloween Party, Dedalu Perkasa, 1977. Post ke-2.
Interaksi dengan yang disebutkan di atas.

Halloween Party #1

Pesta Halloween, hm? Merayakan hari yang, menurut sejarah, sebenarnya adalah hari dimana roh para orang mati turun ke bumi. Semua orang yang masih hidup memakai kostum hantu, Justify Fullberusaha membuat para roh orang mati tersebut mengira mereka adalah bagian dari para roh, sehingga terbebas dari gangguan. Entah kenapa Rigel tak pernah bisa menganggap hal itu sebagai sesuatu yang serius. Alih-alih, amat sangat konyol. Yang benar saja. Anak usia lima tahun juga tahu kalau sekali lihat saja manusia dan hantu itu berbeda. Atau mungkin, setelah jadi roh tingkat kecerdasan mereka menurun hingga tak bisa membedakan sesama roh dengan manusia hidup? Mungkin. Mana dia tahu, dia kan belum pernah jadi roh? Setahunya, Baron Berdarah tidak kehilangan keagungan dan wibawa yang dimilikinya semasa dia hidup, meski dia sudah jadi roh. Atau hantu, menurut bahasa awamnya. Tidak seperti Peeves yang sudah kehilangan otak. Oh, ralat. Peeves Poltergeist, bukan hantu.

Jangan bertanya kenapa benak Rigel langsung melayang kemana-mana. Dia sendiri tak tahu kenapa benaknya lebih sering melayang tanpa izin akhir-akhir ini. Dan lagi —mimpi buruk. Ya. Setiap malam mimpi demi mimpi yang menggelisahkan bergiliran menghantui tidurnya. Terasa begitu jelas hingga membuatnya lelah dalam tidurnya, dan menguap secepat embun pagi saat dia membuka mata. Sudah berapa lama? Seminggu? Dua minggu? Entahlah, dia tak menghitung. Apa katamu? Karena atmosfer bulan Oktober yang menyeramkan? Oh, simpan pikiranmu. Seorang pemuda tegap seperti Rigel yang mendapatkan ruang bawah tanah dengan koridor batu lembap dan suram sebagai tempat tinggalnya sebagai empat tahun terakhir, kini terkena efek samping dari aura Bulan Oktober yang kau bilang menyeramkan? Peeves bakal lebih dulu jadi Menteri Sihir sebelum itu terjadi—

Okay, STOP! Geez, Rigel, tak sadarkah kau sedang berada di mana dan dengan siapa? Tengok ke sampingmu kalau kau lupa sedang bersama siapa, yang jelas kau-tidak-sendirian. Atau setidaknya ini sudah memasuki waktu yang mereka janjikan untuk bertemu dan berangkat bersama dari Ruang Rekreasi Asrama Slytherin ke Pesta Halloween sebagai satu grup. Grup? Rigel mengangkat alisnya. Setahunya baru ada dia dengan gadis itu di grupnya. Entah apakah itu bisa disebut grup. Tapi, apa menurutmu Rigel akan peduli? Yang penting dia bisa bersenang-senang. Dia butuh bersenang-senang untuk mengalihkan pikirannya dari firasat buruk yang selalu menghantuinya.

"Beautiful as always, Mademoiselle. Tak salah aku memintamu untuk pergi bersamaku ke Pesta Halloween. Bolehkah aku mengharapkan satu dansa setelah pesta selesai?" sebuah sapaan, diikuti oleh seulas senyum memuji, tak lupa kecupan ringan di atas punggung tangan kanan si gadis. "Shall we go now, Miss McFadden?" kali ini, sikunya terulur otomatis. Okay, okay. Dia tahu ini Pesta Halloween, bukannya pesta dansa. Dia sadar dandanan mereka berdua lebih mirip pakaian yang dikenakan para putri dan pangeran saat pesta dibanding kostum Halloween (Termasuk pedang panjang di pinggangnya. Dia jadi rindu berlatih pedang. Sudah berapa lama keahliannya tak diasah?). Salahkan para panitia yang melarang mereka mengenakan kostum hantu, kalau begitu. Well, tapi dia harus bersyukur Mère-nya tidak mengirimkan pakaian yang terlalu aneh. Kemeja plus tunik kulit berwarna cokelat-lithium, celana kulit, ditambah jubah dan pedang, membuatnya benar-benar terlihat seperti pangeran. Yeah. Dia kan Pangeran keluarga Noir.. Oh, dan jangan lupakan tongkat sihirnya. Pikirmu Rigel lupa identitasnya sebagai penyihir? Seorang penyihir tak akan pernah meninggalkan tongkat sihirnya sembarangan.

Walking hand in hand with a magnificent woman, in a magnificent attributes. Semua yang melihat juga mengira mereka akan pergi ke Pesta Dansa. Atau bergosip ria untuk mereka yang menyadari siapa gadis yang berjalan bersamanya ini. Berani taruhan, mereka bergosip tentang dirinya, yang baru kelas empat, pergi dengan anak kelas enam. Comme si il s'inquiète. Belum tentu Merlin Yang Agung sendiri tahu kenapa Rigel berpikir akan mengajak anak perempuan pertama yang tertangkap oleh ekor matanya saat dia membaca pengumuman Pesta Halloween di Papan Pengumuman Slytherin Common Room.

Udara dingin menusuk tulang menyambut mereka begitu melangkahkan kaki di pelataran Kastil. Rigel melirik McFadden yang hanya mengenakan sehelai gaun, tanpa mantel atau apapun. "Tak membawa mantelmu, McFadden? Ini hampir penghujung musim gugur," ujar Rigel. Dia menghentikan langkahnya, dan membuka simpul tali emas pengikat jubahnya, dan menyampirkannya ke sekeliling bahu gadis itu. "Forgive my rudeness of not remind you about this weather before we go," katanya.

Atau mungkin, nasib sudah sengaja mengaturnya agar saat itu hanya melihat McFadden di depannya, dan mengajak gadis itu? Entahlah. Rigel malas memikirkannya. Terlalu banyak hal lain yang juga memerlukan perhatiannya. Saat ini, misalnya. Dimana mereka telah tiba di tempat Pesta, tepatnya beberapa puluh meter dari Dedalu Perkasa. Rigel terkejut sendiri melihat tempat itu sudah berubah begitu drastis. RUmah hantu, tanah pekuburan, tumpukan Jack-O-Lantern, bahkan kelelawar hidup. Okay. Meski panitia terdiri dari anak-anak yang masih bau kencur, patut dia akui dekorasinya bagus.

Alis Rigel sedikit terangkat saat mendengar mereka diharuskan masuk ke dalam Rumah Hantu itu. Terlebih, dilarang menggunakan tongkat sihir. Well, membawa bukan berarti menggunakan, kan? Lagipula tak akan ada yang melihat tongkat sihirnya tersembunyi di dalam kantung khusus di sarung pedangnya. Dia melirik McFadden yang berjalan beriringan dengannya.

"Tanpa tongkat sihir, eh? Yah, kurasa apapun yang ada di dalam sana sudah cukup gentar dengan pedang," ujarnya mengomentari perkataan MC. "Kurasa lebih baik kita masuk sekarang. Kau tak takut hantu, kan?" Rigel mengedip di akhir kalimatnya, sedikit menggoda Seniornya itu. Melangkah beriringan, mereka memasuki Rumah Hantu—

Itu Jane, kan? Pikiran Rigel langsung teralih. Jane. Dengan dia. Rahang Rigel mengeras sesaat. Monsieur Rigel, sebaiknya kau tidak melupakan kau sedang bersama siapa sekarang. Oh, dia tidak lupa kalau dia sedang bersama McFadden, jelas. Rigel gentleman sejati. Dia tak akan mengecewakan siapapun wanita yang sedang bersamanya. Hanya saja—

Merasa sedikit kesepian, boleh, kan?


- Comme si il s'inquiète = Kayak dia peduli saja.

Thread Event Halloween Party, Dedalu Perkasa, 1977. Post ke-1.
Interaksi dengan chara-chara yang disebutkan, credits beberapa quote dan deskripsi pada mereka -mulai males-

Friday nampak salah tingkah saat Rigel menyapanya. Rigel mengedikkan bahunya sedikit. Malu, mungkin? Well, dia kan memang belle, apa salahnya kalau Rigel jujur dan bilang dia cantik? Rigel memang tak pernah tega melihat perempuan bersedih dan murung. Hal itu selalu membuatnya merasa bersalah, merasa tidak bisa melindungi mereka dengan baik. Meski itu gadis yang baru saja dia kenal, seperti Friday. Rigel tersenyum, mengingat kalimat dari surat Callista yang baru saja dibacanya. Tak masalah bagi dia, dia sudah terbiasa dikelilingi para perempuan. Dia sudah terbiasa memperhatikan mereka, dan memastikan mereka baik-baik saja. Rasanya, sudah seperti naluri dalam dirinya sendiri. Dorongan untuk selalu melihat setiap perempuan yang dikenalnya tersenyum bahagia.

"Aku tidak murung kok, aku cuma serius memandangi danau. Duduklah, Noir."

Friday akhirnya menampakkan senyumnya. Agak berbeda dari senyumnya yang biasa, yang ini membuatnya terlihat lebih manis. Rigel membalas senyumnya, dan duduk di sebelah Friday. Matahari bergerak turun perlahan, menyelimuti mereka dengan sinar keemasan. Betul-betul sore menjelang musim gugur yang indah, kalau mengabaikan angin semakin kencang dan semakin dingin. Rigel merapatkan jubahnya, masih enggan kembali ke kastil. Kalau perlu, dia ingin berada di luar selama mungkin. DIa benci memikirkan dia harus kembali ke kamarnya. Oh, bukan. Itu bukan kamarnya. Itu kamar dia dan beberapa anak lain. Rigel semakin benci mengingat fakta kalau sekarang dia harus berbagi kamar dengan yang lain.

"Sepertinya bukan hanya kau yang serius menikmati pemandangan di danau," ucapnya. Rigel mengedikkan kepalanya ke arah beberapa orang yang juga berada di situ. Pemain biola yang sepertinya kakak kelasnya, dan sekarang mengganti lagunya, beberapa anak lain yang baru saja datang, dan.. Rigel mengenali sosoknya hanya dengan sekali lihat. Kapten Tim Quidditch Slytherin! Siapa anak Slytherin yang tidak mengenalnya? Tim asrama mereka terkenal karena tahun kemarin memenangkan Piala Asrama dan tidak pernah dikalahkan. Melipatgandakan keinginan Rigel unuk ikut bergabung dengan Tim Asrama. Well, untuk yang satu ini, dia bersedia bersikap rendah hati. Dia tidak tahu kemampuannya sejauh apa, karena jarang sekali mendapat kesempatan bisa bermain dengan orang lain.

Terlihat jelas dari ekspresi si Kapten, kalau dia masih terpukul karena pertandingan kemarin. Bukan cuma dia. Rigel pun terpukul. Dia kecewa karena merasa permainan Tim Slytherin yang kemarin dia saksikan, tidak pantas disebut sebagai permainan Tim pemenang Piala Quidditch. Entahlah. Mungkin dia memang belum melihat yang terbaik dari tim asramanya. Membuatnya semakin bernafsu mengikuti seleksi.

"Kau anak tunggal, Noir? Atau punya kakak? Aku punya kakak lelaki yang keren sekali, tetapi dia sekolah di Durmstrang."

Rigel mengalihkan pandangannya dari si Kapten. Dia tersenyum sebelum menjawab pertanyaan Friday. Terlihat sekali kalau Friday sangat membanggakan kakaknya.

"Aku punya dua kakak, keduanya perempuan dan sekolah di Beauxbatons. Callista kelas lima, Clémence kelas tiga," jawab Rigel. "Kau harus tahu bagaimana rasanya punya dua kakak perempuan. Mereka cerewet, dan kadang bisa jadi sangat menyebalkan karena sok mengatur. Tapi biar bagaimanapun," tatapan matanya menerawang saat mengingat kedua kakaknya, rasa rindu yang bertumpuk semakin membuncah di dadanya, "Mereka berdua kakak terbaik di seluruh dunia. Aku berharap aku sekolah di Beauxbatons juga alih-alih di sini. Jadi tidak perlu terpisah dari mereka. Apalagi Clémence, tubuhnya lemah. Aku selalu khawatir terjadi sesuatu yang buruk kalau tidak melihatnya," katanya, tanpa sadar malah bercerita panjang lebar tentang Clémence.

"Aku jadi ingin kenal dengan kakakmu, BonClay. Kenapa dia tidak sekolah di sini?" Rigel balas bertanya. Pertanyaan bodoh, sebetulnya. Bisa dibilang, mereka berdua berada dalam kondisi yang sama. Sama-sama sekolah di sekolah yang berbeda dengan saudara kandung mereka.

"Maaf kalau pertanyaanku salah. Hanya ingin tahu, tak ada maksud apa-apa. Tak perlu menjawab kalau pertanyaanku ini menyinggungmu," Rigel berkata dengan nada meminta maaf dalam kata-katanya. Rigel benar-benar berharap dia tidak salah bicara. Stupide! Untuk apa menanya-nanyakan hal itu? Ikut campur urusan orang saja!

Suara mendesis di belakangnya menarik perhatiannya. Rigel sontak menoleh, dan melihat seorang gadis berambut coklat lebat menyulut beberapa batang kembang api. Rigel menghela napas, lega ada yang bisa membuatnya mengalihkan topik pembicaraan. Bibirnya terbuka, hendak berkomentar, ketika dia menyadari ada sesuatu yang salah pada kembang api itu. Sangat salah.

"Kembang api Muggle," dengusnya pelan. Rigel tahu, tidak baik mengumpat di depan seorang gadis. Ketidaksukaannya pada apapun yang berembel-embel Muggle membuatnya tidak bisa mengontrol sikapnya. Rigel segera memperhatikan ekspresi Friday. Friday sepertinya Pureblood, karena gadis itu masuk Slytherin juga, dan menulis menggunakan pena bulu. Tapi, siapa yang tahu tentang pendapatnya mengenai Muggle? Terus terang, Rigel belum pernah berhadapan dengan Pureblood Pecinta Muggle, meski dia sudah pernah beberapa kali mendengar mereka. Rigel tak tahu harus berbuat apa. Dia berharap dalam hati, semoga apapun reaksi Friday selanjutnya, tidak membuat mereka jadi saling membenci.


Thread You're Still The One, Danau, 1974 (Best Thread). Post ke-2. (dan sukses WB serta berakhir dengan menelantarkan thread)

Interaksi dengan Friday BonClay (peserta thread banyak).

Entah sudah berapa lama Rigel berdiri termenung di tepi danau, matanya memandang kosong riak air yang memantulkan langit musim gugur. Makin menjelang musim gugur, cuaca semakin dingin, tapi dia lebih memilih berada di luar kastil daripada berada di dalam. Semakin lama, suasana di dalam kastil semakin mirip... Palais du Noir. Satu-satunya tempat yang dia rindukan saat ini, tempat dimana Rigel ingin sekali pulang. Istana tempat dia menghabiskan masa kecilnya, dimana setiap sudutnya sudah habis ia jelajahi, setiap sentinya sudah pernah dia datangi. Di musim gugur seperti ini, dia biasa menghabiskan waktu di pekarangan istananya, memetik buah apel atau beri, atau membantu Mère di kebun bunganya.

Rigel menutup matanya, menghirup angin yang membawa aroma musim gugur dalam-dalam. Mencoba memutar ulang kembali film kenangan akan dia dan Mère di Palais, sebagai pengobat rindu. Apa yang sedang dilakukan Mère saat ini? Siapa yang membantunya mengurus kebun bunganya sekarang? Ya Rigel tahu para peri rumahnya pasti akan dengan sigap membantu. Tapi mereka bukanlah manusia. Madame Noir tak bisa mengajak para peri rumah itu bercengkerama sementara mereka mengurus kebun bunga bersama. Itu yang dikhawatirkan Rigel, tak ada yang menemani Madame Noir mengobrol saat menjelang musim gugur seperti ini.

Tangan Rigel menggenggam erat sebuah perkamen dan amplop dengan segel lilin yang sudah terkoyak. Surat dari Callista. Callista dan Clémence sudah kembali ke Beauxbatons beberapa hari setelah Rigel berangkat ke Hogwarts. Rigel membuka lipatan perkamen itu lagi, dan membaca ulang surat dari kakaknya entah untuk yang keberapa kali. Bayangan tentang kedua kakaknya enggan pergi dari benaknya.

Mon petit frère,

Comment allez-vous? Apa kau sudah betah di sekolah barumu? Ayo, cerita padaku tentang sekolah barumu. Jangan sampai ada yang terlewat, ya! Sudah dapat teman di sana? Pasti kau hanya berteman dengan para gadis. Carilah teman sesama laki-laki, Rigel. Kalau bisa yang tampan, dan undang mereka ke Château du Noir saat liburan musim panas, jadi aku bisa bertemu dengan mereka, hahaha.

Clémence tidak ingin aku mengatakannya, tapi kupikir tidak baik menyembunyikannya darimu. Kau tahu kan, aku selalu jujur tentang segala hal padamu. Kondisi tubuhnya melemah sepulang dari Inggris, jadi sampai sekarang dia belum bisa kembali ke sekolah karena dirawat di rumah. Ini hanya ketakutanku, semoga saja tidak benar, tapi sepertinya Père tidak akan mengizinkan Clémence kembali lagi ke Inggris. Yeah, aku tahu ini juga demi Clémence, tapi kalau itu berarti kalian tidak bisa bertemu selamanya, aku tidak terima. Ini salahku juga, tidak menjaga Clémence dengan baik selama di Inggris kemarin. Tenang saja, aku akan berusaha bicara lagi dengan Père. Apapun akan kulakukan agar Père mengizinkan Clémence bisa kembali lagi ke Inggris. Tidak adil kalau hanya kalian berdua yang menanggung kesalahanku. Clémence menyukai Inggris, terutama ruang baca di Château du Noir. Tunggu kabar selanjutnya dariku, ok?

Jaga dirimu baik-baik disana, Mon petit frère. Jangan dekat-dekat dengan para Darah-Lumpur itu. Meski dia tampan, jangan berteman dengannya, apalagi mengundang dia ke rumah. Percuma saja, aku tak mau bertemu dengannya, hahaha. Au revoir. Kapan-kapan aku tulis surat lagi untukmu.

Votre belle soeur,

Callista

PS: Temanku baru tahu kalau kau tidak masuk Beauxbatons. Dia langsung bilang ingin pindah ke Hogwarts, hahaha. Enak saja, aku ogah kalau dia mengincarmu yang masih imut ini. Akan kupastikan dia tidak bisa pindah.


Kakinya melangkah menyusuri tepi danau. Rigel tersenyum-senyum sendiri membaca surat dari Callista. Kakaknya yang satu itu memang kocak, dan juga lugas. Tak bisa dipungkiri, dia juga merasa khawatir dengan Clémence. Tubuh Clémence memang lemah. Saat berada di Inggris pun, beberapa kali dia batuk-batuk kecil. Rigel gemas, dia benar-benar penasaran. Seberapa parah kondisi kakaknya itu sampai Père melarangnya kembali ke Inggris? Dia tak ingin memberatkan Clémence, sampai memaksanya kembali ke Inggris hanya demi bertemu dengannya di liburan musim panas. Haruskah dia yang menentang perintah Père dengan nekat kembali ke Perancis saat liburan musim panas?

Suara alunan musik menyadarkan Rigel dari lamunannya. Dia mengangkat kepalanya dari surat Callista, dan baru sadar kalau dia berada di tengah-tengah anak-anak lain. Kebanyakan perempuan, dan sepertinya mereka bukan anak setingkatnya. Rigel tidak melihat mereka saat Seleksi Asrama. Seorang memainkan biola dengan mendayu-dayu, diiringi petikan gitar gadis lain. Permainan mereka sangat bagus, membuat Rigel kembali tenggelam dalam kerinduannya pada Perancis, Mère dan kedua kakaknya.

Sosok seseorang menarik perhatiannya. Gadis dengan pena bulu pink dan jurnal yang sepertinya tak pernah lepas dari tangannya. Rigel yang biasa melihat gadis itu penuh senyum dan ceria, kini terheran-heran melihatnya terpekur memeluk lututnya. Que se produisent dedans ici? Semuanya terlihat bersedih, batinnya. Rigel paling tidak tahan bila melihat perempuan, terutama yang dikenalnya, bersedih. Rigel mendekati gadis itu, berusaha mengingat namanya yang disebut saat Malam Seleksi. Friday. Ya, itu namanya.

"Tidak biasanya kau murung seperti ini. Tersenyumlah seperti biasa, kecantikanmu tidak terpancar sempurna kalau kau murung," sapa Rigel pada Friday.


- Mon petit frère = Adik kecilku.
- Comment allez-vous? = Apa kabar?
- Au revoir. = Sampai jumpa.
- Votre belle soeur = Kakakmu tersayang
- Que se produisent dedans ici? = Apa yang terjadi di sini?


Thread You're Still The One, Danau, 1974 (Best Thread). Post ke-1.

Interaksi dengan Friday BonClay (peserta thread banyak).

MEJA SLYTHERIN

Ah, serpents. Tak bisa bertahan untuk tidak mendesis, hmm? Sebuah asrama dimana para anggotanya saling mendesis, menggigit, dan mencabik demi keuntungan sendiri. How beautiful. Seleksi alam yang menentukan, Cher. Apakah para penghuninya bisa bertahan dalam sarang ular ini, atau mati seiring waktu diterkam oleh ular lain. Memilih menyerah dan membiarkan ular lain menerkammu? In your dream. Hal terakhir yang akan dilakukan Rigel, bahkan jika dia sedang mabuk setelah menenggak sepuluh krat Whiski-Api. Tidak sebelum dia menyaksikan dengan mata kepalanya sendiri Père-nya tersayang mati.

"For you too, du Noir. Siapa bilang kau akan hidup melewatinya? Mungkin kau tidak akan seberuntung Pavarell... Who knows?" Got what he mean? Seringai sinis terbentuk di wajah Rigel seraya mengangkat piala ke arah Morcerf. "Kehormatan besar seorang Morcerf mau bersulang untukku. Mau sekalian bertaruh, Morcerf? Well, kalau kau sebegitu yakinnya aku tak bisa bertahan lebih dari Pavarell," balas Rigel ringan, dengan nada seperti hanya membicarakan apa-menu-makan-siang-kali-ini.

Omong-omong soal makanan, desisan para ular usil itu berhasil mengalihkan perhatian Rigel berkali-kali dari steak salmon saus lemon yang sedang dia hadapi. Geez. Dia tak bisa bertarung dengan perut kosong, kan? Peduli setan dengan mereka yang masih berminat melanjutkan drama yang baru berlangsung setengah babak itu. Biarkan dia menghabiskan makan malamnya dengan tenang, bisa kan? Salahmu, stupide. Abaikan saja desisan mereka. Besar kepala sekali kau, mencaplok setiap pembicaraan yang berdengung di sekitarmu? FINE, then. Dia menulikan telinganya terhadap cemoohan-cemoohan berikutnya yang saling dilontarkan para penghuni sarang ular ini. Selesaikan makan, antar para bocah kelas satu ini ke asrama, dan tidur. Tulis surat dulu untuk Mère, Callista dan Clémence sebelumnya. Rencana yang sempurna, eh? Awas saja kalau ada yang berani menghancurkan rencana sempurnanya.

"—Goscinny, Du Noir, Amakusa, McLight, orang-orang berkualitas, membuat bangga Salazar Slytherin, dan tentu saja Pangeran Kegalapan, eh? Karena aku yakin tidak ada di antara kalian yang sudah mengurangi nilai asrama secara signifikan, setelahku.—" Hmm? Kembali Pavarell berkoar-koar dengan tatapan matanya yang sudah tidak fokus. Hiburan yang menyenangkan, bukan? Melihat mantan Prefek kita yang tercinta mabuk di malam Pesta Awal Tahun —terlebih lagi, di hadapan seluruh isi Aula Besar. Stress karena Darah-Lumpur itu yang terpilih menjadi Ketua Murid, alih-alih dirinya, eh? Well, well. Rigel berbaik hati meluangkan waktunya meladeni lelucon ini. "Senang kalau kau sudah menyadari kualitas kami bahkan melebihi dirimu, Pavarell," pemuda tanggung berambut pirang itu tak bermaksud menuangkan bensin di atas api. Hanya ingin bersenang-senang. Kalau Pavarell diizinkan bersenang-senang, kenapa dia tidak?

Demi otak karatan si Penyihir Sinting Merlin. Demi si Terkutuk Godric Gryffindor yang tak lupa merasuki Topi Seleksi butut dengan ideologi-ideologi tidak masuk akal tentang membela para Darah-Lumpur. Apa yang kau pikirkan, ingin menyiksa Salazar Slytherin dalam kuburnya dengan memasukkan para Darah-Lumpur itu ke asrama kami? Genggaman tangan Rigel yang memegang pisau dan garpu mengeras. Giginya bergemeletuk menahan emosi. Harus berapa ekor tikus kotor lagi yang ingin kau masukkan ke sarang ular ini, topi terkutuk? Okay. Tenang, Rigel. Tenang. Jangan hancurkan wibawamu dengan melangkah tergesa-gesa dan tanpa perhitungan.

"Alangkah baiknya hatimu, Pavarell, mengkhawatirkan junior manis kita yang satu ini. Well, we have a bunch of nice seniors who are willing to teach this filthy ragged waste from the nobility of blood. Don't be worry, eh, Pavarell?" dan pemuda Asia pendek berambut pirang itu bersulang, demi Pangeran Kegelapan. Sekarang sudah pasti otaknya tercemar Whiski-Api yang entah sudah berapa gelas ditenggaknya sedari tadi. Seringai sinis kembali menghiasi wajah Rigel. "To the Dark Lord!" Rigel mengikuti kata-kata Pavarell, juga bersulang mengangkat pialanya. Again, semata-mata hanya untuk menekankan pada gadis Darah-Lumpur itu kalau dia tak memiliki tempat di meja ini.

Tak urung, Rigel menangkap Pavarell mengajak janette yang duduk di sampingnya, dan berbisik mencurigakan di telinga gadis itu sebelum beranjak dari Aula Besar. Raut wajah Rigel kembali mengeruh. Black. Sudah pasti tentang dia. Jangan buat dia bertambah murung, Pavarell. Or you'll be sorry. Rigel mengerling Janette, memberinya sebuah senyuman sebelum berdiri.

"Ayo, Goscinny," ujarnya, memberi isyarat pada gadis kurus tinggi itu untuk bangkit dan pergi bersamanya. "All first year. Asrama Slytherin. Tertinggal, aku tak jamin kalian tak akan tersesat," dengan suara lantang Rigel berbicara pada semua junior kelas satunya, dan memberi pandangan pada mereka untuk mengikutinya.

Malam yang panjang ini harus berakhir, suka atau tidak suka.


Thread Pesta Awal Tahun Ajaran, Aula Besar, 1978. Post ke-3.

Interaksi dengan Nicolas Morcerf, Kane Dietrich Pavarell, Janette Blizzard, Voe Goscinny, dan seluruh siswa kelas satu Slytherin.

MEJA SLYTHERIN

"—Berharap menemukan knut tapi kau malah menemukan galleon kutukan, eh? Berdoa saja kau tidak sekedar-ah. Ya. Menjadi pajangan dan tidak melakukan apa-apa selagi benda itu tersemat di dadamu," ucapan yang membuat Rigel tak bisa menahan dirinya untuk menyeringai meremehkan senior Asia pendeknya yang sama sekali tidak pantas memiliki rambut pirang. Jadi itu yang kau lakukan selama menjadi Prefek, Pavarell? "Galleon kutukan, Pavarell? Hm. Tak bisa tahu galleon itu akan mengutukku atau malah bisa kugunakan untuk mengutuk orang lain sebelum digunakan, am I right? And thanks for your advice. Melihat dirimu yang sekarang—" Rigel mendelik sinis pada Pavarell yang seolah ingin muntah saat berbicara dengannya "—aku tahu betapa efektifnya nasehatmu itu," tutupnya.

"—jangan tunjukkan ketidaksukaanmu pada Ketua Murid pilihan Dumbledore, eh? Tidak saat mereka pikir tempat ini adalah tempat paling aman yang ada di muka bumi," Rigel tertawa seketika mendengar kalimat selanjutnya yang keluar dari bibir Pavarell. "Lelucon yang bagus, mantan Prefek. Seolah seluruh isi Slytherin tidak menunjukkan ketidaksukaan mereka pada Sang Ketua Murid, yeah. Kreatif sekali," Rigel hampir bertepuk tangan menyoraki lelucon murahan Pavarell. "Perlukah kutambahkan kalau kau dan komplotanmu akan semakin kegirangan seperti para tikus di pembuangan sampah organik karena mendapatkan semakin banyak mainan?" Rigel merendahkan suaranya, memastikan hanya dia dan Pavarell yang mendengar.

Kejadian selanjutnya membuat Rigel malas melanjutkan perbincangan menyenangkannya lagi dengan Pavarell. Beradu mulut dengan Morcerf layaknya anak kecil, Rigel semakin kepayahan menahan dengusan meremehkannya untuk mereka berdua. Oh, dan Pavarell berhasil membuatnya lupa kalau di sana ada Friday juga. Benar-benar sempurna.—Meski kalau boleh dia menambahkan, malas rasanya Rigel terlibat dalam pembicaraan gadis itu dengan Goscinny mengenai, apa lagi kalau bukan Zeev?— Setidaknya Rigel mendapatkan apa yang dilihat si tua bangka pecinta Muggle itu pada diri Pavarell yang membuatnya tidak bisa menjadi Ketua Murid.

Seseorang tolong pukul kepala Rigel juga agar dia tidak berubah menjadi kekanakan seperti itu setelah menerima lencana Prefek, bisa kan? Siapa tahu itu penyakit yang menyebar dari lencana Prefek yang sudah entah berapa abad diturunkan. HA.

Meski begitu, Rigel masih sempat menangkap akhir pembicaraan mereka dimana Pavarell mengajak seisi meja untuk bersulang demi kejayaan Slytherin. Tak urung pemuda tanggung itu mengangkat pialanya juga, dan berhasil menahan senyum mendengar akhir kalimat yang diucapkan Morcerf keras-keras. "Tak bisa lebih setuju lagi denganmu, Morcerf," Rigel iseng menimpali.

Perhatian yang ia curahkan pada sepotong steak salmon di hadapannya sedikit terusik saat seseorang mengambil tempat duduk di sebelahnya, menggumamkan selamat pada mereka. Seringai Rigel sebelumnya seketika berubah menjadi senyuman khasnya melihat siapa yang datang. "Thanks a lot, again, Jane. Juga untuk ucapan selamatmu saat di kereta," ujarnya lembut. Matanya yang jeli menangkap raut wajah murung Janette yang sama sekali tidak berubah. Sekuali timah panas kembali diguyur ke perut Rigel, menyadari kalau mungkin saja Janette masih murung karena berita Prophet yang itu. Well, okay, okay. Dia sadar dia terlalu jauh menduga. Bisa saja gadis itu murung karena Void masih sakit. Tak ada salahnya dia tanya, kan? "Bagaimana keadaan Void, Jane? Aku tak keberatan mengantarmu menemui Profesor Kettleburn ataupun Hagrid malam ini. Atau mungkin besok pagi, kalau kau tak mau mengganggu istirahat malam mereka," sambung Rigel.

Ucapan selamat Janette berlanjut pada Pavarell. Hmph. Jane sayang, apa kau belum tahu siapa yang sebenarnya berhak mendapatkan ucapan selamatmu itu? Atau, justru mungkin tidak berhak? Tergantung dari sisi mana kau melihatnya. Sebelum bibirnya terbuka untuk menanggapi, Goscinny dengan baik hati memberitahu Janette lebih dulu kalau Pavarell tidak memerlukan ucapan selamat. "Beat me, Jane. Kau bahkan tak mau mengucapkan selamat bila tahu siapa yang sesungguhnya harus kau ucapi selamat," Rigel merendahkan nada bicaranya di telinga Janette.

"Aku tidak mengerti kenapa kalian begitu senang hanya karena menjadi Prefek? Aku bahkan tidak mengerti tujuan menjadi Prefek—" Seorang juniornya kembali berkoar-koar. Maksudnya ingin berkomentar betapa tidak penting dan menyedihkannya para Prefek ini, begitu? Hm, beat me. Aku pun berpendapat sama denganmu, juniorku yang manis. Hanya saja, tidak semua orang di dunia ini berpendapat sama dengan kita, sayangnya. Termasuk Père-ku 'tersayang', yang sedihnya menghargaiku hanya seharga lencana murahan ini. Maafkan aku jika kali ini aku harus membantahmu, juniorku. Nasib leherku bergantung pada berhasil tidaknya aku mempertahankan lencana ini. Dan Friday dengan manisnya menimpali kata-kata Latimer —ternyata itu namanya— telak.

"Life, Latimer, is more complicated than what you could expect. So human are. Senang menjadi Prefek? Well, define happy, then. Tak ada satu manusia pun yang tidak suka bila tangannya dijatuhi kekuasaan. And trust me, neither of you," Rigel tidak tahan ingin menambahkan kata-kata Friday.

You'll never understand even a single thing.


Thread Pesta Awal Tahun Ajaran, Aula Besar, 1978. Post ke-2.

Interaksi dengan Kane Dietritch Pavarell, Nicolas Morcerf, Janette Blizzard, Voe Goscinny, Ralph K. Latimer.

AULA DEPAN
Justify Full

Prefek, eh?

Berjalan perlahan menaiki undakan depan Kastil Hogwarts, tangan kanan Rigel memain-mainkan lencana keemasan itu di dalam saku jubahnya. Pemuda tanggung berambut pirang kecokelatan itu sengaja berjalan lamat-lamat, menunggu arus manusia yang bergelung saling berebut ingin lebih dulu masuk ke Kastil berlalu begitu saja di hadapannya. Please, dia sudah bukan anak kecil yang menjadikan permainan siapa-yang-duduk-di-meja-asrama-lebih-dulu sebagai pertaruhan hidup-dan-mati seperti yang tampaknya dilakukan banyak junior-juniornya —yang mana, sebenarnya, tak pernah dilakukan Rigel sejak pertama kali dia menginjakkan kakinya di kastil tua ini. Apa itu berarti dia tak pernah jadi anak kecil, huh? Tch, bocah-bocah itu saja yang terlalu ingusan. Mental bocah usia lima tahun yang sayangnya terperangkap dalam tubuh remaja usia belasan tahun. Maaf saja, harga diri Rigel terlalu tinggi untuk menjadikan permainan konyol itu sebagai medan pertarungan hidup-dan-mati.

Arus anak-anak yang turun dari kereta Thestral di Undakan Depan mulai berkurang—dia tak bisa melihat Thestral-nya, jelas. Dia belum pernah melihat kematian secara langsung. Tapi itu tidak menjadi penghalang untuk tahu kereta itu ditarik oleh apa, kan? Hm, mungkin dia bisa membunuh Père-nya tersayang kapan-kapan. Orang tua botak pengatur itu hilang, dan dia bisa melihat Thestral. Sekali tepuk, dua ekor lalat kena— tangan Rigel yang memain-mainkan lencana Prefek, menarik potongan lempeng logam itu keluar, membuatnya menari-nari di antara jari jemarinya. Anak-anak kelas satu belum tiba, tampaknya? Bisakah dia menarik kesimpulan kalau itu berarti tugasnya belum dimulai? Karena murid-murid kelas dua ke atas sudah tidak lagi memerlukan sambutan Prefek di Meja Asrama mereka—jangan lakukan kalau kau tak ingin dilempari kentang atau tomat— dan mereka juga tak perlu diantar-antar ke Asrama seperti anak umur dua tahun. Oh—oke, dia tetap harus masuk, tak peduli betapapun enggannya dia. Pikiran tinggalkan-saja-tugas-Prefek-merepotkan-itu-pada-Prefek-lain dikalahkan dengan tidak hormat oleh rasa lapar.

Prefek, eh?

Rigel sebenarnya tidak begitu antusias untuk bergabung dalam perebutan tahta Prefek dan Ketua Murid. Untuk apa merepotkan diri sendiri melakukan pekerjaan sukarela mengurus murid-murid Hogwarts? Seolah mereka tak punya Penjaga Sekolah saja. Ironis. Karena ternyata lencana itulah yang justru membuat dia selamat dari pidato rutin Monsieur Noir yang menyembur setiap melihat nilai-nilai Rigel. Tua bangka itu tak bisa diam kalau tidak melihat daftar nilainya dipenuhi dengan huruf O. Rigel mendengus. Seolah aku sudi saja belajar di sini, batinnya perlahan. Dan karena hal itulah, Rigel harus memastikan lencana itu akan tetap berada di tangannya hingga akhir tahun, dan juga tahun depan. Yang berarti dia harus mulai bertingkah seperti anjing-penjilat dan menghadiahkan beberapa detensi pada beberapa anak, dan memakai label "Penjual Teman" di wajahnya sendiri. Demi agar Père-nya kembali mengizinkannya pulang ke Perancis musim panas tahun depan. Ironis. Haruskah ia mulai memakai kata itu sebagai nama tengah?

MEJA SLYTHERIN

Oh, bagus.

Tepat di saat Rigel mengingat-ingat kembali siapa partnernya yang tertulis di daftar Prefek yang dia terima saat di Kompartemen Prefek tadi, gadis itu berdiri dan melakukan penyambutan untuk para murid kelas satu yang baru selesai diseleksi. Sebelah alisnya terangkat. Okay. Tak ada yang istimewa. Hanya berpartner dengan seorang cewek psycho yang membawa-bawa belati perak kemanapun dia pergi dan tak segan-segan menusukkannya ke jantungmu kalau dia sedang kesal. Tak ada yang istimewa, kecuali peluang Rigel mati lebih dulu daripada Père-nya tiba-tiba meningkat jadi 99,99% karena harus selalu bekerja bersama gadis itu setiap hari, sepanjang tahun, dengan resiko dia mengorek jantungnya satu detik setelah Rigel membuatnya kesal.

Heh. Bagaimanapun, dia itu perempuan. Putar otak, Rigel. Ke mana harga dirimu kalau kau bertekuk lutut di bawah belati peraknya? Benar juga. Perempuan. Rigel sudah memegang kartu As-nya, kalau begitu.

"My, my. Terimakasih Goscinny, sudah menyambut para junior kita yang manis ini bahkan sebelum Prefek yang lain muncul. Keberadaan kami tidak dianggap cukup penting bagimu, rupanya," sapa Rigel. Ups. Did he just say something bad? Like he cares. Lagipula dia memang sengaja datang agak terlambat. "Izinkan aku mengucapkan bagianku sekarang, Mademoiselle," Rigel menatap Goscinny dengan sorot mata penuh arti. "Rigel du Noir, your another fifth year Prefect starting from now on. Selamat datang di Slytherin, meski aku yakin partnerku ini sudah mengucapkannya tadi," suara berat pemuda tanggung itu mengalun renyah, diakhiri dengan seringai khasnya yang merekah perlahan. Sadar lencana Prefek-nya masih tergenggam di tangan kanannya—bukannya tersemat secara rapi di dada seperti Goscinny— "Ah, dan ini?" Rigel menjentikkannya ke udara, dan menangkapnya dengan sempurna— "lencana Prefek-ku, tapi kurasa tanpa memakai ini pun kedudukan Prefek tetap ada padaku, kan? Belajarlah untuk mengingat wajahku sebagai Prefek tanpa harus ditempeli lencana ini," ujarnya tangkas, memasukkan kembali lencananya ke dalam saku jubah, dan duduk.

Setahun lalu, dia masih termasuk dalam kelompok orang yang membenci kelompok Prefek tukang pamer tapi tak bisa apa-apa.

Kali ini, dia punya resiko dibenci orang lain karena dianggap sebagai Prefek tukang pamer yang tak bisa apa-apa.

Seperti Pavarell yang ternyata duduk dua anak dari seberangnya, kalau dia boleh menambahkan.

Tak percaya? Buktinya kedudukan Ketua Murid diserahkan pada Darah Lumpur Tukang Sepatu itu alih-alih Pavarell. Padahal Shoemaker bukanlah siapa-siapa di tahun sebelumnya. Bukan Prefek, juga bukan Kapten Quidditch. Sungguh memalukan.

"Ah, halo Senior Pavarell. Sedang merayakan ketidakberhasilanmu mendapatkan Lencana Ketua Murid? Kalau saja pemakainya sekarang bukanlah Darah-Lumpur, aku sudah bersulang dari tadi," ujarnya santai.

Ingatkan Rigel untuk waspada agar tidak bernasib sama seperti mantan Prefek dan mantan Beater di depannya itu.


Thread Pesta Awal Tahun Ajaran, Aula Besar, 1978. Post ke-1.

Interaksi dengan Voe Goscinny, Kane Dietritch Pavarell dan seluruh siswa di meja Slytherin.


OOC

Baca ulang post-post Rigel jaman jebot.... ada satu hal yang baru gue sadari.

90% postnya Rigel isinya cuma tentang cewek dan cewek -ROFL ROFL ROFL-

Ya Tuhan... nih chara jebotannya jadi nista abis dah =))

(abaikan entri yang ini, OOC mampus, OOC mampus)

Latihan Dansa #2

With Pleasure..."

Senyuman tipis tersungging di bibir Rigel mendengar jawaban gadis itu. With pleasure. Naturellement. Jawaban apa lagi yang diharapkan keluar dari mulut gadis itu selain kebersediaannya? Diajak berdansa oleh seorang bangsawan tampan, kaya dan pureblood seperti Rigel, bodoh kalau ada yang menolak. Rigel menarik lembut gadis itu ke tengah-tengah Aula, di mana beberapa pasangan sudah mulai berdansa mengikuti alunan lagu dari gromofon. Rigel melingkarkan tangan kirinya ke pinggang ramping Vionna, memperlakukan gadis itu layaknya vas porselen termahal di dunia. Tangan kanannya masih belum melepaskan genggamannya pada tangan Vionna, menggamitnya dengan lembut. Keduanya berayun seiring alunan lagu.

"Eh, apakah seperti ini dansa yang kau harapkan? Uhm....maaf jika aku kurang pandai berdansa, maybe... kau bisa mengajariku..."

Senyuman Rigel kembali merekah perlahan. Well, Rigel bisa melihat kalau gadis ini tidak begitu pandai berdansa. Mati-matian Rigel menahan agar alisnya tidak terangkat atau bibirnya tidak menyunggingkan senyum merendahkan. Rakyat jelata. Sangat tidak sepadan bersanding dengannya.

"Avec plaisir, Mademoiselle," alih-alih memaki gadis itu, Rigel malah tersenyum dan menjawab dengan amat lembut. Rigel membimbingnya perlahan, membisikkan petunjuk demi petunjuk kemana gadis itu harus melangkah. "Hitung sesuai dengan temponya, akan lebih mudah. Satu, langkahkan kaki kananmu. Dua, tarik kaki kirimu jadi sejajar dengan kaki kanan dan bertumpu di atas ujung jari. Tiga, luruskan kakimu. Ulangi lagi dengan kaki yang satunya," Rigel tanpa lelah membisikkan petunjuk-petunjuk ke telinga Vionna. Selang beberapa waktu dia memberi petunjuk tentang posisi tangan. Tanpa lelah, katamu? Oh, droite. Capek rasanya berbicara terus menerus sambil tak berhenti bergerak. Semoga saja kerja kerasnya ini tak sia-sia—

—Ouch!!

NAH! Kan?! Apa Rigel bilang? Baru saja dia mengatupkan kedua bibirnya, gadis itu sudah salah melangkah, hingga Rigel menginjak kakinya. Kau pikir ini salah dia, heh?! Kau yang salah melangkah! Oh, ok. Ingat, Rigel. Jaga manner-mu. Ok. Baiklah.

"Perhatikan langkah pasanganmu juga. Kalau dia melangkah ke depan, maka kau melangkah ke belakang," alih-alih memakinya, Rigel melanjutkan instruksinya. Masih dengan senyuman lembutnya. Masih dengan suara menawannya. Well, dia kan Noir. Mengendalikan emosi seperti itu latihan kecil bagi Rigel yang selalu harus menahan emosi saat menghadapi Père-nya. Rigel mengerling sekitarnya. Tertangkap oleh sudut matanya sosok yang sangat familiar. Ann. Senior Hufflepuff-nya. Rigel tersenyum samar, nyaris tak terlihat, berharap Ann masih tetap di situ sebelum latihan dansa ini selesai. Ralat. Ann masih di situ setelah dansanya dengan Vionna selesai. Yep.

Teriakan ngebass yang membuat telinganya sakit tiba-tiba terdengar menggaung di Aula Besar. Rigel menghentikan dansanya, matanya mencari-cari siapa yang berteriak-teriak dengan tidak sopannya itu. Rigel langsung mual ketika melihat si pelaku. Oke, dia hantu yang lumayan. Badannya bagus. Tariannya oke. Tapi-jangan-suruh-dia-buka-mulut. Euh. Bikin mual saja. Ditambah lagi, Peeves si potergeist sinting itu mengajak seorang anak perempuan kelas satu yang tampaknya sudah mau menemui ajal terbang berputar-putar. Sedetik lagi para guru itu masih bengong menonton 'pertunjukan jalanan' hantu-hantu rendahan itu, maka anak kelas satu berjubah Hufflepuff itu akan menemui ajal. Atau mungkin itu yang lebih baik, agar dia bisa jadi hantu juga dan Peeves tak perlu susah payah menggendongnya.

"Well, lagunya sudah berganti. Sepertinya kau akan lebih menikmati berdansa dengan lagu yang lebih riang ini," jangan tanya kenapa Rigel berkata seperti itu. Dia sudah tahu apa jawaban yang akan diberikan oleh gadis itu. Tidak bisa berdansa waltz. Berarti bukan bangsawan. Berarti pula, dia akan lebih senang berjoget dengan lagu konyol seperti ini. Berjoget, bukan berdansa.

Lalu? Apa kau sudi berjoget cha-cha konyol seperti hantu bencong itu kalau Vionna mau berjoget cha-cha, Rigel?

Ha! Pikirmu? Seorang Noir mau berjoget seperti itu dan mempermalukan dirinya di depan publik? Tidak, terima kasih. Langkahi dulu mayatnya sebelum itu terjadi. Yang artinya tak akan pernah terjadi.

Then, what will you do, Rigel? Meninggalkan Vionna begitu saja?

Mmm.... hmmm.... Setelah kau sebutkan, sepertinya itu ide bagus. Kelihatannya Ann masih menunggu diajak seseorang. Atau, mungkin sebaiknya dia mengajak Jane? Oh, dan jangan lupa. Kau masih belum meminta seorangpun untuk diajak ke pesta dansa. Jangan lupa untuk meminta salah satu dari mereka, Rigel du Noir. Atau kau akan pergi tanpa pasangan.

Oh, well, Drake yang sok-tampan itu sudah mengganti kembali lagunya menjadi waltz. Ingin memperlihatkan kembali keahlian berdansanya pada semua orang? Peduli amat. Bukan urusan Rigel. Yang penting kedua hantu sinting itu sudah ditangani. Dan Rigel tak perlu mempertaruhkan martabat dan harga dirinya dengan berjoget tidak jelas di depan publik. Uh-oh. Kau lupa satu hal, Rigel. Kau masih berhadapan dengan Vionna.

Ha-ha. Pintar.


- Naturellement = of course.
- Avec plaisir = dengan senang hati.
- droite = right

Thread Latihan Dansa, Aula Besar, 1976. Post ke-2.

Interaksi dengan Vionna McKenzie, Janette Blizzard, Annabelle Roosevelt. Some Quotes and descriptions credit to those chara.

Latihan Dansa #1

Dilahirkan di Keluarga Bangsawan Pureblood Terhormat Noir memiliki keistimewaan tersendiri. Segala fasilitas nomor satu, hak-hak istimewa bangsawan yang masih bisa mereka dapatkan meski secara tertulis kedudukan bangsawan di Perancis dianggap sama setelah Revolusi Perancis —yang omong-omong, sama sekali tidak ada hubungannya dengan urusan para penyihir. Itu kan urusannya para Muggle— Tidak jarang keberuntungan lah yang menyapamu terlebih dahulu.

Seperti sekarang.

Pesta Dansa di Hogwarts. Dimana yang diizinkan ikut hanyalah kelas tiga ke atas. Dan, guess what? Dia kelas tiga tahun ini. Betapa beruntungnya dia. Well, he is a Noir, anyway. He deserved it. Seorang Rigel du Noir, tak bisa datang ke acara pesta dansa?

Better he dead.

Bagaimana dengan pasangan dansamu nanti, Rigel? Sejauh ini kau belum mengajak siapapun. Tidakkah kau takut kau akan kehabisan gadis cantik untuk diajak berdansa?

Kau bercanda, ya? Dia. Rigel. du Noir. Dia bisa mendapatkan gadis yang dia mau semudah dia menjentikkan jarinya. Tidakkah kau lihat sorot mata para gadis yang meleleh di bawah tatapan matanya? Atau mungkin kau melupakan desah napas tertahan rombongan gadis di koridor saat Rigel berlalu di depan mereka, meninggalkan jejak wangi sabun kayu Ivory di belakangnya yang dengan rakus mereka hidup. Well, sejauh ini Rigel memang belum meminta secara langsung pada siapapun. Dia masih memilih. Mana gadis yang paling dia inginkan berdiri di sampingnya saat memasuki Aula Besar. Mana gadis yang paling dia inginkan untuk berdansa dengannya. Dan mana gadis yang pantas bersanding dengannya. And well... Latihan dansa. Hmm... Parfait. Une bonne chance de choisir la fille, batin Rigel saat Profesor McGonagall membersihkan lantai Aula Besar setelah waktu makan mereka. Meja-meja panjang Asrama menghilang entah ke mana. Mantera yang bagus, ngomong-ngomong. Kapan McGonagall mengajarkannya, ya? Siapa tahu aku bisa melenyapkan Père. Ha-ha. Kidding. As if.

Bersandar pada dinding, Rigel mengawasi McGonagall menyalakan gromofon. Musik waltz mengalun lembut. Ah. Kapan terakhir kali pemuda itu berdansa? Sudah lama, pastinya, mengingat kali terakhir dia berdansa adalah saat dia masih tinggal di Perancis. Dia sudah meninggalkan Perancis selama hampir tiga tahun, ingat? Meski begitu, Rigel belum melupakan langkah-langkah dansa yang diajarkan guru Tata Krama-nya dulu. Ayolah. Seorang Noir, tak bisa berdansa? Jangan mengaku Noir, kalau begitu.

Mata Rigel masih mengawasi Profesor McGonagall meminta seorang anak Hufflepuff untuk menjadi pasangannya berdansa —MacManus, kalau dia tidak salah ingat. Salah satu juara Asrama. Rigel mengangkat sebelah alisnya. Nenek tua itu benar-benar akan berdasa? Whoa. Kesempatan langka. Rigel mengerling Carey dan juga Sinistra yang ikut bergabung di lantai dansa. Hmm... rupanya para guru yang antusias menyambut pesta dansa ini bukan hanya McGonagall. Commencerons-nous maintenant, le professeur? Rigel rasanya sudah menunggu selama seabad hingga acara latihan dansa itu dimulai. Matanya mulai menyisir seluruh isi Aula. Mencari-cari siapa yang bisa diajaknya berdansa. Harap dicatat, belum tentu gadis itu akan jadi pasangannya ke pesta dansa.

Mieux vous remerciez à Dieu, filles. Parce que vous êtes les fortunés ce soir. Rigel memilih random seorang gadis. A-ha. What a coincidence. Rigel mengenal gadis itu. Vionna, yang kebetulan bertemu dengannya di danau tempo hari. Rigel melangkah mantap mendekati gadis itu, tatapan matanya tertuju hanya pada dia. Senyumannya merekah perlahan. "May I have the honour to have a dance with you, Mademoiselle?" sapa Rigel dengan nada lembutnya yang biasa. Tangan kanannya terlipat di depan perutnya, punggung membungkuk singkat. Rigel tidak melepaskan tatapan matanya dari gadis itu. Tanpa menunggu jawaban dari Vionna, Rigel mengangkat tangan kanan gadis itu perlahan, dan mengecup ringan punggung tangannya. "One song, if you don't mind," lanjutnya.

Bagaimana kalau dia Mudblood?

Bodoh kau, Rigel. Stupide. Kenapa tidak kau tanya dulu sebelum mengajaknya berdansa? Siapa tahu dia terlalu GR dan mengira kau akan mengajaknya ke pesta dansa juga. Lebih baik kau berdansa dengan Jembalang daripada dengan Mudblood.

Mudblood? Sepertinya menyenangkan kalau aku mempermainkannya sedikit. Menarik. Kita lihat bagaimana nanti reaksinya.


- Parfait. Une bonne chance de choisir la fille = Sempurna. Kesempatan bagus untuk menyeleksi para gadis itu.
- Commencerons-nous maintenant, le professeur? = Bisakah kita mulai, Profesor?
- Mieux vous remerciez à Dieu, filles. Parce que vous êtes les fortunés ce soir. = Bersyukurlah, girl. Karena kaulah yang beruntung malam ini.
- Stupide = Bodoh.


Thread Latihan Dansa, Aula Besar, 1976, Post ke-1.

Interaksi dengan Vionna McKenzie. Some quote and descriptions credit to her.

Seleksi Asrama

Tiba di Stasiun, Rigel dan para murid kelas satu lainnya disambut seseorang —sepertinya dia lebih pantas disebut makhluk— tinggi besar dengan kumis dan jenggot lebat dan acak-acakan. Rigel menaikkan sebelah alis saat melihatnya. Setengah raksasa, dia sudah bisa menebak saat pertama kali melihat makhluk itu. Rigel mendengus merendahkan. Bahkan disebut sebagai seseorang saja, dia tidak berhak mendapatkannya. Sekolah macam apa ini, mempekerjakan makhluk setengah raksasa? Seperti Darah-Lumpur belum cukup saja. Benar-benar sekolah rendahan.

Rigel mengikuti makhluk itu dengan terpaksa ke arah danau, dan menaiki perahu. Sepertinya ini khusus hanya untuk kelas satu, karena kelas tingkat atas pergi ke arah lain. Rigel melakukan semuanya dengan setengah hati. Dia sudah lelah, dan dia ingin segera tiba. Bukan karena dia tidak sabar ingin bersekolah di situ. DIa hanya kelelahan, dan ingin bisa tidur sesegera mungkin. Rigel teringat perkataan Mère-nya saat di toko es krim. Mereka mengadakan semacam seleksi untuk memasukkan para murid baru ke 4 asrama berbeda. Oh, semoga saja acara seleksi ini tidak berlangsung lama. Rigel ragu dia masih sanggup untuk bangun.

Makhluk setengah raksasa itu memandu mereka ke arah kastil. Oke, tidak buruk. Kastilnya lumayan. Terlihat tua, tapi lumayan besar. Di depan pintu masuk ganda besar, seorang wanita paruh baya dengan wajah serius sudah menanti mereka. Sekali lihat, Rigel sudah mendapatkan pesan untuk tidak berbuat macam-macam di hadapan wanita ini kalau dia tidak mau mendapatkan masalah. Wanita itu memperkenalkan dirinya sebagai wakil Kepala Sekolah, dan meminta mereka berbaris dalam barisan dua-dua dan masuk ke dalam Kastil. Berbaris, aku bukan anak kecil lagi, dengus Rigel. Mereka melewati pintu ganda tinggi besar yang mengingatkannya akan pintu Bank Gringotts. Hanya saja, ini terbuat dari kayu.

Mereka menyeberangi ruangan kosong yang cukup luas di balik pintu, dan masuk ke pintu ganda lain lagi. Rigel disambut dengan suara celotehan ramai dan sinar kuning lembut, yang ternyata berasal dari ratusan lilin yang melayang sebagai penerangan. Rigel mengangkat kepalanya, melihat ke arah langit-langit. Persis seperti langit di luar. Langit-langit sihir, batinnya. Agak kampungan, meski sekarang telihat bagus karena kebetulan langit di luar sedang bagus. Ruangan yang ini benar-benar besar. Rigel Tampaknya seluruh murid Hogwarts berkumpul di sini. Semacam tempat untuk makan, barangkali? RIgel memperhatikan, ada 4 meja berbeda. Mungkin setiap meja untuk setiap asrama? Rigel mrmandang sekilas ke arah keempat meja itu, mencari-cari anak-anak bertampang superior dan aristokrat. Biasanya mereka yang seperti itulah yang berdarah murni.

Tiba di bagian depan ruangan, Profrsor McGonagall menyuruh mereka berhenti dan menghadap ke arah keempat meja. Rigel lagi-lagi menaikkan alisnya. Plaisez, mereka bukanlah barang pameran. Apa yang akan mereka lakukan terhadap para murid kelas satu? Rigel benar-benar penasaran apa seleksinya. Semoga saja bukan duel satu lawan satu. Bukan berarti Rigel tidak berani melawan mereka. Dia sedang berada dalam kondisi sangat kelelahan. Dia bahkan tidak yakin dia sanggup untuk mengangkat tongkatnya.

Profesor McGonagall mengeluarkan sebuah bangku berkaki tiga, can meletakkan sesuatu —yang membuat Rigel langsung mual saat melihatnya— di atasnya. Rigel bersyukur dia belum makan apapun selain makanan yang dibelinya dari troli di kereta tadi siang. Dia merasa dia bisa muntah saat itu juga. Benda itu terlihat sangat kumuh, dekil, penuh tambalan dan robekan. Mirip dengan sesuatu yang sering dipakai para peri-rumah.

Rigel terkejut melihat apa yang dilakukan benda itu setelahnya. Benda itu bernyanyi! Rigel hampir pingsan, kupingnya sakit mendengar suara dari benda itu. Topi, ternyata. Benda itu sebuah topi. Lagunya menceritakan perbedaan keempat asrama di Hogwarts. Lalu mana asrama yang berisi para Darah Murni? Stupide topi, kau tidak menjelaskan dengan tuntas. Rigel mengira tidak ada yang bisa mengejutkannya lebih dari itu. Oh, dia salah. Berikutnya, saat Profesor McGonagall mengatakan mereka harus mengenakan topi itu, Rigel ingin berlari pulang saat itu juga. Dia tidak peduli dia akan mendapat masalah dengan Père-nya. Apapunakan dia lakukan demi agar tidak menggunakan topi jelek kumal dan bodoh itu. Bagaimana kalau nanti kebodohan si topi berpindah padanya? Oh, tidak, tidak! Dia tidak bisa menjadi bodoh. Dia tampan, Darah Murni, kaya, dan seorang bangsawan. Dia tidak boleh jadi bodoh, atau itu akan menghancurkan semua reputasi baiknya.

Tapi Rigel tidak bisa berkutik. Tampaknya inilah seleksi yang dimaksud oleh Madame Noir. Seleksi, melihat siapa yang paling tahan utnuk direndahkan sedemikian rupa di depan ratusan orang, eh? Aku harus siap-siap untuk membawa koperku pulang, kalau begitu. Aku tidak sudi dipermalukan seperti itu. Si topi tampaknya meneriakkan nama asrama untuk setiap anak setelah berbisik-bisik sebentar dengan si anak. Rigel komat kamit dalam hati, benar-benar berharap si topi tidak menularkan kebodohan atau hipnotis untuk menjadi Pecinta-Muggle padanya. Harga dirinya akan hancur seketika itu juga.

du Noir, Rigel Deveraux!

Rigel tidak bisa mengelak lagi. Perlahan tapi pasti, urutan absen mendekati namanya. Dan akhirnya, tibalah gilirannya. Rigel masih terus saja berdoa agar topi butut itu tidak merubahnya menjadi Pecinta-Muggle sementara dia berjalan ke arah bangku dan duduk. Dia mengernyit saat topi itu dipakaikan ke kepalanya, dan bersumpah akan mencuci rambutnya sampai benar-benar bersih setelah ini. Oh, ayolah topi bodoh, cepat putuskan! Jangan racuni pikiranku dengan berbagai macam hal tentang menjadi Pecinta-Muggle, awas saja! Dan masukkan aku ke asrama yang berisi para Darah Murni. Kau pasti tidak ingin aku kabur pulang di hari pertama, kan? Karena aku akan melakukannya kalau kau memasukkanku ke sarang para Darah Lumpur itu, ancam Rigel pada si topi.


Newer Posts Older Posts Home