All Alone 1

Père tak salah saat menyuruh Rigel menyiapkan fisiknya untuk perjalanan jauh. Ini pertama kalinya Rigel menaiki kapal laut. Awalnya memang mengasyikkan, angin berhembus mempermainkan mantel bepergiannya --Père melarang dia memakai jubahnya yang biasa. Katanya, karena mereka akan naik transportasi Muggle, dan jubah akan membuat penampilan mereka mencolok-- lama-lama, Rigel mulai merasa pusing diombang-ambing di atas kapal. Sungguh tidak praktis, transportasi Muggle ini. Portkey seribu kali lebih baik. Oke, sensasinya amat sangat tidak menyenangkan. Setidaknya Portkey hanya sebentar, dan dia sudah bisa tiba di tempat tujuannya.

Rigel juga tak menyangka kalau yang dimaksudkan Père 'pergi ke Inggris' berarti dia pindah ke Inggris. Yeah, benar. Rigel mengira mereka hanya akan berbelanja di Inggris, kemudian kembali lagi ke rumah mereka, Palais du Noir, dan pergi lagi ke Inggris saat hari keberangkatannya tiba. Tapi tidak. Oh, tentu saja rencana Monsieur Noir lebih dari itu. Selama masa sekolahnya, Rigel akan tinggal di Inggris. Oke, Rigel tinggal di Hogwarts selama dia bersekolah. Selama liburan Natal dan musim panas, Rigel akan tinggal di Château du Noir, kastil milik keluarga mereka di Cambridgeshire. Rigel bahkan baru tahu kalau mereka punya kastil di Inggris. Antara kaget dan kesal, mau tak mau Rigel mengakui kalau Père-nya sangat brilian. Monsieur Noir sudah merencanakan semuanya sampai detil. Boleh dibilang, Rigel hanya tinggal pergi keesokan harinya, tanpa perlu mengepak barang-barangnya lagi. Semuanya sudah disiapkan, dan tinggal berangkat. Dan Rigel tak bisa membantah, seperti biasa. Perintah Père adalah nomor satu.

Mereka melanjutkan perjalanan dari Pelabuhan ke Château du Noir dengan menggunakan Portkey. Rigel benar-benar bersyukur. Kalau mereka meneruskan perjalanan dengan transportasi Muggle lagi, Rigel lebih memilih menginap di pelabuhan. Masa bodoh kalau Mère meledeknya pengecut. Dia sudah terlalu lelah. Barulah keesokan harinya, Rigel, Monsieur dan Madame Noir bisa pergi ke Diagon Alley. Kali ini, mereka ber-Apparate dan muncul di tengah-tengah Leaky Cauldron, karena jaringan perapian di Château du Noir belum didaftarkan ke Kantor Jaringan Floo. Rigel langsung menekuk wajahnya saat tahu Père tak akan mengantar dia berbelanja, seperti janjinya dulu.

"Oh, mes fils. Jangan cemberut begitu. Pikirkan keuntungannya, kau tahu kan kalau banyak aturannya kalau pergi dengan Père? Lebih enak kalau kita berbelanja berdua, bukan begitu?" hibur Madame Noir, tangannya menjawil ujung hidung putra kesayangannya. Rigel otomatis menjauh dari tangan iseng Mère-nya.

"La mère, arrêtez-le! Aku bukan anak kecil lagi!" rajuk Rigel. Madame Noir hanya tertawa geli melihat tingkah putranya. Rigel pura-pura acuh, dan mengalihkan pandangannya melihat-lihat isi ruangan. Sale, dengusnya pelan. Kumuh dan tidak berkelas. Sama sekali bukan tempat yang pantas untuknya.

"Mes fils, carilah tempat duduk dulu. Sepertinya bar ini mulai ramai, nanti kita tak bisa dapat tempat duduk. Aku pesan minuman dulu," kata Madame Noir. Rigel memutar bola matanya.

"Tak ada meja yang kosong, Mère. Aku malas kalau harus bergabung dengan mereka. Siapa tahu mereka Darah Lumpur?" jawab Rigel. Madame Noir hanya menggeleng-gelengkan kepalanya.

"Rigel, mes fils, kau anak yang cerdas. Masa yang begitu saja tidak bisa membedakan? Kuberi satu petunjuk. Ada perbedaan antara sikap para Darah Lumpur di dunia sihir dengan Darah Murni. Silakan kau cari sendiri apa itu," sambung Madame Noir sambil mengedipkan matanya. Tanpa menunggu respon Rigel, Madame Noir berlalu menuju bar, memesan minuman. Rigel tak sempat berbuat apa-apa.

Rigel mengamati anak-anak yang memenuhi bar tersebut. Apa? Mère bilang ada perbedaannya. Apa bedanya? batinnya, otaknya berpikir keras. Rigel berdiri mematung di tepi ruangan, matanya menyisir seisi ruangan. Perbedaan, yeah. Lama-lama Rigel mulai bisa menangkap maksud Mère-nya. Anak-anak seusianya terlihat seperti terpisah ke dalam dua macam. Anak-anak yang bersikap takjub melihat isi bar, seolah mereka sedang mengunjungi Palais du Versailles, dan anak-anak yang bersikap seolah mereka sudah pernah ribuan kali ke tempat ini. Ya, Rigel mengerti maksud Mère sekarang.

Mata Rigel berhenti di meja yang berisi beberapa anak. Satu anak perempuan berambut hitam, sedang menulis sesuatu di bukunya, menggunakan pena bulu berwarna... pink? Tidak salah? Tapi anak itu menggunakan pena bulu, pasti dia berdarah murni. Rigel mengangkat bahunya. Elle est tout à fait jolie, meski sedikit norak. Pink, yang benar saja. Tapi, lebih baik daripada Darah Lumpur, batin Rigel.

Tanpa sengaja, Rigel mendengarkan pembicaraan mereka. Rigel baru sadar meja ini diisi oleh perempuan. Hanya dua orang anak laki-laki selain dia. Senyuman tersungging di sudut bibirnya. Parfait. Anak perempuan berambut pirang yang juga baru datang mengatakan sesuatu, bukan dalam bahasa Inggris maupun Prancis. Rigel mengerutkan keningnya. Itu... bahasa... Norwegia? Anak ini dari Norwegia? Apa yang membuat dia mau-maunya datang ke Inggris? Yeah, Rigel sudah punya sentimen buruk terhadap Inggris sejak pertama kali dia tiba. Rigel iseng ingin menyapa anak itu dalam bahasa Norwegia. Untung saja dulu dia pernah belajar, meski tidak sefasih Bahasa Inggrisnya.

"God etter middag , Frk. Kanskje JEG sitte her over?" sapa Rigel pada gadis itu ramah, tak lupa senyumannya. Rigel mengedikkan kepalanya sedikit pada anak-anak lainnya, dan mengulangi sapaannya dalam Bahasa Inggris. "Halo. Keberatan kalau aku ikut duduk?" katanya.


- mes fils = Anakku
- La mère, arrêtez-le! = Ibu, hentikan!
- Sale = Kotor.
- Elle est tout à fait jolie = Dia cukup cantik
- God etter middag , Frk. Kanskje JEG sitte her over? = Selamat siang, Nona. Boleh aku duduk di sini?


Thread All Alone, Leaky Cauldron 1974. Post ke-1.

Interaksi dengan Friday BonClay, Janette Blizzard, Cassandra Almendarez, Persia V. Byrce, Arianne Ravell, Septimus J. Tybalt. Credit quote to those chara.

0 Comments:

Post a Comment



Newer Post Older Post Home