Seleksi Asrama

Tiba di Stasiun, Rigel dan para murid kelas satu lainnya disambut seseorang —sepertinya dia lebih pantas disebut makhluk— tinggi besar dengan kumis dan jenggot lebat dan acak-acakan. Rigel menaikkan sebelah alis saat melihatnya. Setengah raksasa, dia sudah bisa menebak saat pertama kali melihat makhluk itu. Rigel mendengus merendahkan. Bahkan disebut sebagai seseorang saja, dia tidak berhak mendapatkannya. Sekolah macam apa ini, mempekerjakan makhluk setengah raksasa? Seperti Darah-Lumpur belum cukup saja. Benar-benar sekolah rendahan.

Rigel mengikuti makhluk itu dengan terpaksa ke arah danau, dan menaiki perahu. Sepertinya ini khusus hanya untuk kelas satu, karena kelas tingkat atas pergi ke arah lain. Rigel melakukan semuanya dengan setengah hati. Dia sudah lelah, dan dia ingin segera tiba. Bukan karena dia tidak sabar ingin bersekolah di situ. DIa hanya kelelahan, dan ingin bisa tidur sesegera mungkin. Rigel teringat perkataan Mère-nya saat di toko es krim. Mereka mengadakan semacam seleksi untuk memasukkan para murid baru ke 4 asrama berbeda. Oh, semoga saja acara seleksi ini tidak berlangsung lama. Rigel ragu dia masih sanggup untuk bangun.

Makhluk setengah raksasa itu memandu mereka ke arah kastil. Oke, tidak buruk. Kastilnya lumayan. Terlihat tua, tapi lumayan besar. Di depan pintu masuk ganda besar, seorang wanita paruh baya dengan wajah serius sudah menanti mereka. Sekali lihat, Rigel sudah mendapatkan pesan untuk tidak berbuat macam-macam di hadapan wanita ini kalau dia tidak mau mendapatkan masalah. Wanita itu memperkenalkan dirinya sebagai wakil Kepala Sekolah, dan meminta mereka berbaris dalam barisan dua-dua dan masuk ke dalam Kastil. Berbaris, aku bukan anak kecil lagi, dengus Rigel. Mereka melewati pintu ganda tinggi besar yang mengingatkannya akan pintu Bank Gringotts. Hanya saja, ini terbuat dari kayu.

Mereka menyeberangi ruangan kosong yang cukup luas di balik pintu, dan masuk ke pintu ganda lain lagi. Rigel disambut dengan suara celotehan ramai dan sinar kuning lembut, yang ternyata berasal dari ratusan lilin yang melayang sebagai penerangan. Rigel mengangkat kepalanya, melihat ke arah langit-langit. Persis seperti langit di luar. Langit-langit sihir, batinnya. Agak kampungan, meski sekarang telihat bagus karena kebetulan langit di luar sedang bagus. Ruangan yang ini benar-benar besar. Rigel Tampaknya seluruh murid Hogwarts berkumpul di sini. Semacam tempat untuk makan, barangkali? RIgel memperhatikan, ada 4 meja berbeda. Mungkin setiap meja untuk setiap asrama? Rigel mrmandang sekilas ke arah keempat meja itu, mencari-cari anak-anak bertampang superior dan aristokrat. Biasanya mereka yang seperti itulah yang berdarah murni.

Tiba di bagian depan ruangan, Profrsor McGonagall menyuruh mereka berhenti dan menghadap ke arah keempat meja. Rigel lagi-lagi menaikkan alisnya. Plaisez, mereka bukanlah barang pameran. Apa yang akan mereka lakukan terhadap para murid kelas satu? Rigel benar-benar penasaran apa seleksinya. Semoga saja bukan duel satu lawan satu. Bukan berarti Rigel tidak berani melawan mereka. Dia sedang berada dalam kondisi sangat kelelahan. Dia bahkan tidak yakin dia sanggup untuk mengangkat tongkatnya.

Profesor McGonagall mengeluarkan sebuah bangku berkaki tiga, can meletakkan sesuatu —yang membuat Rigel langsung mual saat melihatnya— di atasnya. Rigel bersyukur dia belum makan apapun selain makanan yang dibelinya dari troli di kereta tadi siang. Dia merasa dia bisa muntah saat itu juga. Benda itu terlihat sangat kumuh, dekil, penuh tambalan dan robekan. Mirip dengan sesuatu yang sering dipakai para peri-rumah.

Rigel terkejut melihat apa yang dilakukan benda itu setelahnya. Benda itu bernyanyi! Rigel hampir pingsan, kupingnya sakit mendengar suara dari benda itu. Topi, ternyata. Benda itu sebuah topi. Lagunya menceritakan perbedaan keempat asrama di Hogwarts. Lalu mana asrama yang berisi para Darah Murni? Stupide topi, kau tidak menjelaskan dengan tuntas. Rigel mengira tidak ada yang bisa mengejutkannya lebih dari itu. Oh, dia salah. Berikutnya, saat Profesor McGonagall mengatakan mereka harus mengenakan topi itu, Rigel ingin berlari pulang saat itu juga. Dia tidak peduli dia akan mendapat masalah dengan Père-nya. Apapunakan dia lakukan demi agar tidak menggunakan topi jelek kumal dan bodoh itu. Bagaimana kalau nanti kebodohan si topi berpindah padanya? Oh, tidak, tidak! Dia tidak bisa menjadi bodoh. Dia tampan, Darah Murni, kaya, dan seorang bangsawan. Dia tidak boleh jadi bodoh, atau itu akan menghancurkan semua reputasi baiknya.

Tapi Rigel tidak bisa berkutik. Tampaknya inilah seleksi yang dimaksud oleh Madame Noir. Seleksi, melihat siapa yang paling tahan utnuk direndahkan sedemikian rupa di depan ratusan orang, eh? Aku harus siap-siap untuk membawa koperku pulang, kalau begitu. Aku tidak sudi dipermalukan seperti itu. Si topi tampaknya meneriakkan nama asrama untuk setiap anak setelah berbisik-bisik sebentar dengan si anak. Rigel komat kamit dalam hati, benar-benar berharap si topi tidak menularkan kebodohan atau hipnotis untuk menjadi Pecinta-Muggle padanya. Harga dirinya akan hancur seketika itu juga.

du Noir, Rigel Deveraux!

Rigel tidak bisa mengelak lagi. Perlahan tapi pasti, urutan absen mendekati namanya. Dan akhirnya, tibalah gilirannya. Rigel masih terus saja berdoa agar topi butut itu tidak merubahnya menjadi Pecinta-Muggle sementara dia berjalan ke arah bangku dan duduk. Dia mengernyit saat topi itu dipakaikan ke kepalanya, dan bersumpah akan mencuci rambutnya sampai benar-benar bersih setelah ini. Oh, ayolah topi bodoh, cepat putuskan! Jangan racuni pikiranku dengan berbagai macam hal tentang menjadi Pecinta-Muggle, awas saja! Dan masukkan aku ke asrama yang berisi para Darah Murni. Kau pasti tidak ingin aku kabur pulang di hari pertama, kan? Karena aku akan melakukannya kalau kau memasukkanku ke sarang para Darah Lumpur itu, ancam Rigel pada si topi.


0 Comments:

Post a Comment



Newer Post Older Post Home