Here #1

Tahu sesuatu yang disebut insting? Atau firasat, atau naluri, semua itu sama saja. Well, dia tinggal bertahun-tahun dengan tiga orang wanita yang selalu meributkan mengenai sesuatu yang mereka sebut sebagai 'insting wanita', jadi jangan salahkan Rigel kalau lama kelamaan dia sedikit banyak memperhatikan firasatnya. Terutama kalau dia merasakan sesuatu yang buruk akan datang.

Dan malam ini perasaan itu menghinggapinya begitu tiba-tiba.

Kalau saja dia bisa, Rigel ingin menyerahkan tugas mengantar anak-anak kelas satu ini ke asrama pada Prefek lain dan bergelung di dalam selimutnya, mencoba menyingkirkan perasaan tidak enak yang menyapanya tiba-tiba. Slytherin punya empat Prefek, dan, well, meski berat mengakuinya, satu Ketua Murid, jadi, kenapa harus dia dan Goscinny yang membawa barisan bocah-bocah ini seperti guru Taman Kanak-Kanak? Sekalian saja beri dia maraccas, dan suruh dia menyanyikan lagu anak-anak. But—yeah, dia memerlukan lencana itu tetap berada di tangannya, jadi dia tak bisa melempar tugasnya begitu saja. Mon Dieu.

Ekor matanya menangkap sosok Janette yang juga ikut rombongan mereka keluar Aula Besar. Timah yang menggelayuti perutnya seketika bertambah berat dan menggelegak. Taruhan seratus Galleon, ini ada apa-apanya dengan Pavarell. Seseorang dalam tubuhnya meneriakkan kata-kata perintah untuk tetap di luar dan menemani gadis itu saat Janette menelengkan kepalanya, menyapa Rigel yang berdiri di depan tembok batu berlumut kehijauan —pintu masuk Asrama Slytherin, kalau kau belum tahu— sebelum pemuda jangkung itu membisikkan kata kuncinya. Ragu. Jelas-jelas seluruh anggota tubuhnya, bahkan pikirannya, meneriakkan satu perintah yang sama: Ajak Janette masuk. Atau temani dia, kalau gadis itu berkeras untuk tetap menemui Pavarell.

Terkadang kenyataan tak mengizinkan semua keinginan manusia terwujud. Melawan nalurinya, Rigel menyunggingkan senyum perpisahan pada Janette. Mengikuti anak-anak kelas satu masuk, dan menerangkan pada mereka di mana kamar mereka—serta membacakan peraturan dalam asrama. Persis seperti lima tahun lalu: hanya saja, kali ini Rigel yang memberikan instruksi. Dan —demi sesuatu yang disebut 'menghargai privasi orang lain'— Rigel memilih mengawasi Janette dari ambang pintu asrama. Melawan seseorang dari dalam dirinya yang terus menerus memaki-nya stupide karena tidak menarik Janette masuk.

All hail Lucifer the King of the Devil.

Bahkan kalau kau merebus Rigel di dasar neraka terdalam, rasa bersalah itu tak bisa hilang. Karena, guess what? He probably had done the biggest mistake in his life. Rien! Sial! Sial! SIAL! Bodoh! "Jane!" seru Rigel begitu keluar dari Asrama. Seseorang dalam dirinya kini mengalirkan kekuatan yang cukup besar pada kedua tangannya.

"YOU!" umpat Rigel—kedua tangannya menarik kerah kemeja idiot pemabuk itu.
"FILTHY—!" satu pukulan.
"—IDIOT—!" itu dua.
"—PATHETIC—!" itu tiga.
"—DRUNKER!!" empat. Empat tinjunya melayang sekuat tenaga, satu-satu seiring kata-katanya ke wajah tampan Pavarell. Haruskah dia tambahkan, hidung itu tak akan lurus lagi setelah beberapa pukulan darinya?

"Sebelumnya aku menaruh sedikit hormat padamu, terlebih karena kau adalah abdi-Nya. Ternyata aku salah, eh?" desis Rigel rajam, suaranya sarat dengan amarah yang membara di matanya. Tak pernah dia berbicara sekejam ini pada seorang Pureblood. "Sampah. Pengecut menyedihkan yang lari pada minuman keras karena kehilangan kekuasaan," Rigel menggertakkan giginya. Seolah belum puas, tinjunya kembali melayang. Lima. "Sudah sadar dari mabukmu, sekarang? HAH?!" Enam. "Sampah! Sekotor Muggle! Kau layak dihancurkan dengan cara Muggle!" Tujuh. Total tujuh tinju sarat dengan kekuatan seorang pemuda murka mendarat di wajah dan ulu hati anak Asia itu.

Seolah jijik dengan kata-katanya sendiri, Rigel melepaskan cengkeramannya di kerah baju Pavarell, dan mendorongnya keras, membuat pemuda Asia itu jatuh tersungkur. Tepat di kaki seorang gadis yang baru Rigel sadari keberadaannya di sana kira-kira lima detik yang lalu.

"Sekarang kau sadar kalau pacar kecilmu ini tidak sesuci kelihatannya, Miss Khan?" ujarnya kasar. "Kalian berdua punya banyak hal untuk dibicarakan, tampaknya," kesinisan semakin terasa di setiap kata-katanya. Rigel berbalik. Dia sudah muak bahkan hanya melihat wajah menyedihkan Pavarell. Sosok Janette terlihat rapuh di hadapannya dengan air mata membasahi seluruh wajahnya. Dipikir-pikir lagi, baru kali ini Rigel melihat gadis itu menangis. Sial. Pemikiran itu malah menambah rasa bersalahnya, membuatnya semakin menjadi-jadi.

"Kau tak apa, Jane?" tanya Rigel penuh kecemasan. Perlahan, disentuhnya kedua bahu gadis itu yang terpaku bersandar ke dinding. Merlin, hukum aku yang membiarkannya berduaan dengan setan pemabuk itu, batinnya miris. "Kita masuk sekarang, ya?" tawarnya, masih dengan suara penuh kelembutan. Perlahan, seolah memperlakukan porselen mahal dari Cina, Rigel merengkuh tubuh gadis itu. Berharap bisa melakukan sesuatu untuk menebus rasa bersalahnya.

"Maafkan aku. Tidak seharusnya kutinggalkan kau berduaan dengan bajingan pemabuk itu," sesalnya. Penyesalan yang tak akan bisa hilang.


Thread Here, Ruang Bawah Tanah, 1978. Post ke-1. Timeline setelah Pesta Awal Tahun Ajaran 1978/1979.

Interaksi dengan Kane Dietrich Pavarell, Shaula Khan, dan Janette Blizzard.

0 Comments:

Post a Comment



Newer Post Older Post Home