Disclaimer: JK Rowling untuk Hogwarts, Madam Pince, Slughorn, dan semua universenya.
Cassandra Almendarez dan Cassanova Lopez milik Manda, Friday BonClay milik Cicak, Janette Blizzard milik Talith, Voe Goscinny, Edgard Jones dan Mrs. Jones milik Aji, Laverne Zeev milik Rhea, Francis MacManus milik Ferlip, Maria A. Roslane milik Reina, Lucifer Dubrinsky milik Ayu, Rigel du Noir milik Mikan yang selama ini dimainkan oleh saya, Bartemius Crouch Jr. milik JKR yang dimainkan oleh Talith dan PM yang dulu, Schutz Macbeth milik Susi, Tristain F. Steinegger milik PMnya.
Saya minta maaf sudah memakai beberapa chara di atas sebagai cameo tanpa minta izin terlebih dulu, maaf kalau sudah meng-OOC-kan para chara yang disebut, dan maaf kalau mengacaukan plot masing-masing
Timeline: Masa sekolah Cassie, Voe, Friday, Janette, dan Rigel. Oh, dan di sini Cassie dan Lucifer gak tinggal kelas. LOL
Catatan: Side Story dari Camaraderie, ini merupakan plot RPG yang belum pernah terealisasi sampai sekarang. Jadi saya bikin aja FFnya –grins- Anggap yang terjadi di FF ini pada timeline sebelum timeline sekarang, sudah terjadi.


Camaraderie: Side Story
In The Name of Our Blood

“Bagaimana kalau aku ke dapur dan meminta Peri-Rumah membuatkan kita berlima cokelat panas?” suara seorang pemuda pirang tampan berusia tujuh belas tahun memecah keheningan, membuat seorang gadis melirik dengan tajam ke arahnya.

“Kau tahu sendiri kalau Madam Pince akan menggorengmu hidup-hidup kalau kau coba-coba makan atau minum di perpustakaan,” desis gadis berwajah Latin dengan rambut hitam legam itu ketus. Membuat si pemuda hanya mendengus meremehkan.

“Makanya, kubilang kita belajar di Ruang Rekreasi saja. Mau minum segalon cokelat panas pun tak akan ada yang protes,” ucap si pemuda itu lagi. Seorang gadis Latin lain dengan binar kepolosan di matanya menampakkan perasaan tak enak. Gadis Latin yang pertama meliriknya, dan kembali menyerang si pemuda.

“Yeah? Lalu Cassie mau kau simpan di mana? Diselundupkan masuk seperti ide gilamu itu? Aku tak percaya kau lupa banyak ular berbisa yang mengincar Cassie di dalam sana,” si pemuda menggulirkan bola matanya tak sabar. “Oh, come on. Seisi sekolah sudah tahu kalau kita selalu bersama-sama. Melihat Cassie masuk Ruang Rekreasi Asrama kita tak akan membuat mereka terkena serangan jantung atau apa,” tukas si pemuda lagi.

“Tidakkah kalian berdua sadar kita hanya akan membuang waktu duduk sampai larut malam di Perpustakaan bila kalian hanya berdebat?” suara tenang namun tajam seorang gadis kurus dengan rambut pirang dan mata hazel keruh memotong perdebatan si pemuda dengan gadis Latin itu. Si gadis Latin memandangi si pemuda dengan tatapan puas penuh kemenangan. Tak hilang akal, si pemuda kembali menyeletuk lima menit kemudian,

“Sedetik lagi aku memandangi buku Sejarah Sihir ini, otakku akan menciut karena gosong,” celetuknya. Kali ini, empat pasang mata memandanginya gemas, seolah ingin menggantikan peran Madam Pince dan menggoreng pemuda ini dengan senang hati.

“Apa?” tambah si pemuda dengan nada menantang. “Aku tak tahan duduk berjam-jam dan menghapalkan tanggal-tanggal peristiwa yang terjadi bahkan ratusan tahun sebelum aku lahir, oke? Untuk apa aku peduli?” seorang gadis berkulit pucat dengan bahu bidang, membuka mulutnya tanpa berhasil mengeluarkan pendapatnya karena dipotong kembali oleh pemuda itu, “Dan jangan katakan aku harus peduli karena NEWT, Jane. Siapa yang peduli aku lulus NEWT Sejarah Sihir atau tidak? Toh pada akhirnya karierku sudah ditetapkan,” kata-kata si pemuda selanjutnya membuat keempat gadis yang duduk bersamanya gatal ingin melemparkan buku mereka ke kepala si pemuda ini.

“Yeah, yeah. Kau dan seluruh perusahaan serta kekayaanmu yang akan kau warisi begitu lulus nanti. Bisakah kau peduli sedikit pada kami yang nasibnya bergantung pada seberapa banyak nilai NEWT yang kami dapat agar bisa mendapatkan pekerjaan?” balas si gadis Latin dengan ketus, membuat si pemuda terkekeh pelan.

“Wah. No offense, Friday, Dear. Aku hanya mengatakan kenyataan,” ujarnya, tangannya terulur merangkul pundak si gadis Latin. Hanya bermaksud untuk menggodanya. “Besides, kau juga tak perlu bekerja kan, Dear Friday? Ada Francis tersayang yang siap melamarmu begitu kau lulus nanti. Kudengar dia cukup sukses dengan peternakan sapinya. Emasnya pasti cukup untuk menghidupi kalian berdua,” ujarnya di telinga gadis Latin itu. Ada kenikmatan tersendiri bagi pemuda itu dengan memiliki teman-teman perempuan. Bisa dengan bebas menggoda mereka kapan saja, menikmati betapa manisnya para gadis itu saat wajah mereka memerah, dan mereka tak akan membunuhmu seketika. Paling hanya memukul.

Seperti yang dilakukan gadis yang dipanggil Friday itu kali ini. Sayang sekali, karena pemuda itu dengan sigap meloncat berdiri dan menghindar dari sambitan buku Sejarah Sihir yang setebal batu bata. Tak lupa tertawa tertahan—oh yeah, tertahan. Da masih punya akal untuk tidak tertawa terbahak-bahak di dalam perpustakaan.

“Dengan senang hati aku akan menerimamu ke pelukanku kalau kau bosan dengan status Nyonya Pemilik Peternakan,” masih belum kapok, pemuda itu meneruskan godaannya dan mengelus pipi Friday yang halus sebelum tangan Friday bergerak untuk memukulnya lagi.

“Kalau kau bosan belajar, Rigel, bisakah setidaknya kau tidak mengganggu kami? Heran. Padahal ini ide brilianmu untuk belajar bersama tiga kali seminggu di Perpustakaan. Cassie yang cerewet saja tidak semenyebalkan kau hari ini,” ujar Friday kesal. Pemuda yang dipanggil Rigel itu hanya tertawa pelan, penuh nada kemenangan.

“Come to think of it, rasanya Cassie memang sedikit diam dari tadi,” timpal si gadis berbahu bidang yang dipanggil Jane. Sontak mereka berempat memandangi gadis Latin berwajah polos itu, yang sedang tersenyum-senyum sendiri membaca sesuatu di pangkuannya. Dari ekspresinya, bisa dipastikan gadis itu tidak mengikuti perdebatan yang terjadi di antara teman-temannya sama sekali.

Sadar kalau keempat temannya sedang menatapnya dalam-dalam, gadis Latin itu cepat mengalihkan pandangannya dari buku dan menutup buku di pangkuannya—tidak terlalu cepat, karena tangan kokoh Rigel segera terulur dan menarik buku di pangkuan Cassie. Mata keempatnya membulat mengetahui apa yang sedang dibaca gadis itu.

“Demi uban Merlin, pantas saja kau diam dari tadi!” seruan tertahan Rigel terdengar amat gemas. Wajar saja, karena sejak tadi Cassandra sibuk membaca buku dongeng ‘Sleeping Beauty’ di balik buku Sejarah Sihir besar yang terbuka di pangkuannya. Mana ada sih yang membaca buku Sejarah Sihir sampai tersenyum-senyum sendiri? Tertangkap basah oleh teman-temannya, Cassandra hanya tersenyum polos seolah tak bersalah.

“Cukup. Aku menyerah. Friday benar, ide belajar bersama ini tak lebih dari sekedar ide bodoh. Dari tadi tak satu katapun yang masuk ke otakku,” ujar si gadis pirang dengan nada putus asa. Tangan kurusnya menutup buku Sejarah Sihir-nya perlahan, dan mulai menggulung perkamen-perkamen catatannya selama tujuh tahun yang berserak terbuka di atas meja. Membuat Janette menghembuskan napas, dan ikut menutup bukunya juga sementara Friday masih menatap Rigel dengan pandangan ini-semua-gara-gara-kau-ribut-terus.

“Hei, bukan salahku, oke? Ide belajar bersama ini masih tetap ide brilian. Sejarah Sihir-nya yang membuat kacau. Minggu lalu saat kita belajar Transfigurasi, kita berhasil mengulang setidaknya semua catatan kelas satu dan kelas dua kita,” Rigel membela diri. “Aku lebih memilih mendengarkan dongeng Cassie daripada belajar Sejarah Sihir. Kalian tahu sendiri seluruh anak akan tertidur sepuluh menit begitu Binns mulai meracau. Lima menit kalau musim panas,” mau tak mau, ucapan Rigel ini ada benarnya. Kali ini mereka berhasil bertahan setidaknya selama satu jam karena Binns tak ada di sekitar mereka. Tapi hanya sampai di situ kekuatan mereka.

“Menurutku Sejarah Sihir menarik, kok,” celetuk Cassandra. Sontak empat pasang mata memandanginya, dan bergulir bersamaan. Bukan rahasia umum lagi kalau Cassandra begitu menyukai Sejarah Sihir. Tindakannya barusan membaca buku dongeng Sleeping Beauty pun sebenarnya tak perlu dipermasalahkan, karena Cassandra hanya menemani mereka belajar Sejarah Sihir, karena, well, gadis itu sudah hapal semua materinya. Sebuah ide brilian lain terlintas di kepala Rigel. Pemuda itu mendadak duduk tegak menghadap Cassandra.

“Hei, Cass. Bagaimana kalau kau mendongeng saja untuk kita?” Rigel mengucapkannya dalam nada yang membuat keempat gadis itu tercengang dan berpikir kalau Rigel sudah sinting. “Kau sudah hapal semua materi Sejarah Sihir, kan? Bagaimana kalau kau dongengkan pada kami? Berani bertaruh dongengmu seribu kali lebih menarik daripada Binns,” lanjut Rigel dengan mata berbinar, menatap Cassandra yang sedang sibuk berpikir dan ketiga gadis lainnya mencerna kalimat Rigel dalam-dalam, sebelum memutuskan kalau ide Rigel memang ide bagus dan ikut menatap Cassandra dalam pandangan memohon. Dan gadis itu pun menyerah.

“Oh, well… Baiklah baiklah. Mau mulai dari mana?” jawab Cassandra akhirnya. Senyuman polos terpasang lebar di wajahnya, membuat keempat temannya tersenyum penuh kelegaan. Andai mereka tak ingat Madam Pince bisa menusuk mereka dengan tusukan besi dan memanggang mereka di atas perapian, mungkin mereka sudah bersorak gembira.

“Bisa dimulai dari peperangan antara Muggle dan penyihir di abad ke-18?” ujar Friday. Ada bayang gelap yang memadamkan kerlip di mata Cassandra mendengar kata peperangan antara Muggle dan penyihir. Tapi hanya sesaat. Gadis berambut pirang itu mengerling Friday dengan mata hazelnya yang keruh dalam tatapan memperingatkan, tapi Friday hanya mengangkat bahunya tanda tak peduli, seolah berkata, ‘Apa? Itu materi kita saat kelas satu, kan?’ membuat si gadis pirang berdecak tak sabar. “Er, kau bisa memilih topik lain kalau kau mau, Cass. Kami tak memaksa,” ujarnya kalem, tersenyum menenangkan Cassandra.

Gadis Latin itu menggeleng kecil, cengiran polos kembali terpasang di wajahnya. Seolah kabut yang baru saja menutupi kerlip matanya itu tak pernah ada. “Aduh Voe, tak apa, kok. Thanks, anyway. Ayo kita kembali ke pelajaran kelas satu!" ujarnya dengan keriangannya yang biasa. Keempat temannya langsung sigap dan membuat diri mereka masing-masing nyaman di sofa perpustakaan yang mereka duduki.

“Baiklah. Kita mulai saja. Pada zaman dahulu kala, tepatnya saat peradaban manusia belum semaju sekarang dan beberapa bangsa di dunia masih mencari makan dengan cara berburu, tersebutlah suatu bangsa yang tinggal di dataran Afrika Utara. Peradaban mereka sudah sangat maju, mereka bahkan sudah bisa menggunakan Astronomi untuk menghitung hari dan menentukan musim. Di sana, penyihir dan kaum Muggle hidup berdampingan…” Cassandra mengambil posisi duduk yang nyaman, dan mulai bercerita.

Seketika mereka berempat tenggelam dalam dongeng seorang Cassandra Almendarez.

***

Friday BonClay, Cassandra Almendarez, Rigel du Noir, Voe Goscinny, dan Janette Blizzard. Bila menilik latar belakang serta sejarah masing-masing, kau mungkin akan heran bagaimana kelima orang yang beragam itu bisa dipersatukan. Terutama, karena beberapa dari mereka membenci Muggleborn dan Cassandra Almendarez nyata-nyata seorang Muggleborn. Mari kita mundur sejenak menilik tahun-tahun yang sudah dilalui kelima orang itu di Hogwarts, untuk bisa mengerti apa yang mempersatukan mereka berlima dalam keragaman. Tepatnya, kita mundur ke waktu dimana mereka berlima baru saja memulai tahun ketiga mereka.

Masih ingat dengan Cassandra Almendarez? Tokoh kita yang amat sangat menyukai dongeng. Di malam Pesta Awal Tahun di tahun ketiganya, Cassandra memilih untuk tidak menghadiri pesta dan berjalan-jalan. Pikirannya penuh dengan bagaimana caranya agar bisa kembali bertemu dengan Cassanova yang sudah menjadi bintang di langit malam. Kau tahu? Pikirannya penuh dengan berbagai macam fantasi aneh. Saat baru pertama kali mengetahui dirinya adalah seorang penyihir, berbagai macam cerita dongeng bermunculan dengan ramai di kepalanya, membentuk satu pemikiran bahwa sebagai penyihir, dia bisa melakukan apa saja. Termasuk memanggil kembali Cassanova yang sudah menjadi bintang, atau sebaliknya, merubah dirinya menjadi bintang dan terbang menyusul Cassanova.

Dua tahun sudah Cassandra bersekolah di Hogwarts. Cukup untuk memberitahunya, kalau impiannya merubah dirinya menjadi bintang dengan tongkat sihirnya dan terbang mengunjungi Cassanova adalah hal yang mustahil. Cassanova, Cassanova dan Cassanova. Hidupnya hanya dipenuhi dengan Cassanova dan dongeng bintangnya, membuat Cassandra praktis tidak mempunyai teman. Mungkin itu pulalah yang membuat Cassandra lebih memilih berpetualang mengelilingi kastil yang sunyi daripada duduk di dalam Aula Besar dan menyelamati setiap anak yang diseleksi masuk ke asrama Ravenclaw seperti dirinya. Cassanova, dan Cassanova. Bahkan saat Cassandra tanpa sadar memasuki kamar mandi Myrtle Merana di lantai dua pun, Cassanova masih belum lepas dari ingatannya.

Jika gadis itu berharap hanya ada dia sendiri di kamar mandi agar bisa bebas melamunkan tentang Cassanova, maka dia harus kecewa. Karena tak lama berselang seorang gadis berambut hitam panjang dengan wajah pucat memasuki kamar mandi itu. Janette Blizzard. Demam tinggi yang dia rasakan begitu tiba ke Hogwarts membuat gadis itu terpaksa harus terbaring lemah di atas tempat tidurnya di saat teman-temannya yang lain merayakan pesta Awal Tahun Ajaran. Percayalah, Janette sama sekali tidak bermaksud memasuki kamar mandi itu. Dia bangun dari tempat tidurnya dan mengambil resiko pingsan di tengah-tengah koridor kastil yang sepi bukan untuk masuk ke kamar mandi Myrtle dan berbincang-bincang dengan hantu genit itu. Bukan. Janette bermaksud untuk pergi ke Hospital Wing, yang sebenarnya terletak di lantai satu. Salahkan demam tingginya yang membuat Janette seolah kehilangan kesadaran dan tak ingat sudah berapa lantai dia naik tangga. Begitu tiba di depan pintu kamar mandi, dia hanya bisa mengerjapkan matanya sesaat, dan masuk masih dengan perasaan melayang.

Namun kesadarannya tidak hilang saat melihat Cassandra duduk di bawah jajaran wastafel batu.

"Sedang apa kau di sini? Menangisi takdirmu--" kata-katanya terhenti, dan Janette menambahkannya dengan dingin, "--sebagai Darah Lumpur?"

Hal yang akan Janette lakukan dalam keadaan sakit ataupun sehat. Merasa terganggu dengan keberadaan mereka yang dia sebut sebagai Darah-Lumpur, dan menghina mereka. Andai dia sedang sehat dan beberapa tahun lebih tua, mungkin Janette tak akan menghina mereka. Dia akan langsung memantrai mereka.

"Merasa kau tak pantas hidup mengotori dunia sihir yang agung, Mudblood? Aku dengan senang hati bersedia menyingkirkanmu,"

Suara pecah seorang pemuda tanggung terdengar, entah dari mana dia muncul. Hantu lainnya seperti Myrtle? Sayangnya bukan, meski kedatangannya yang tiba-tiba mirip dengan hantu. Rigel du Noir. Seorang aristokrat yang biasanya selalu menjaga tindak-tanduknya agar tetap sopan dan ramah, namun kali ini dengan telak menyerang Cassandra yang nyata-nyata seorang Muggleborn. Bukan berarti sebelumnya Rigel tidak membenci Muggleborn. Sejak lahir pemuda itu membenci Muggle dan segala jenis keturunannya sampai ke tetes darah terakhirnya. Hanya saja, biasanya Rigel bisa menutupinya dengan baik dan tidak bertindak sembarangan yang pada akhirnya hanya akan menghancurkan harga dirinya sendiri.

Tidak untuk kali ini. Pikiran Rigel luar biasa kalut, sampai-sampai membuatnya muak berada di tengah keramaian Pesta Awal Tahun Ajaran bersama teman-teman seasramanya. Padahal kapan lagi Rigel bisa bersorak saat ada murid Slytherin yang diseleksi, atau mencemooh saat ada anak Gryffindor baru yang diseleksi tanpa harus merasa malu dan kekanak-kanakan? Entahlah. Otaknya terlalu penuh.

Semua ini gara-gara Muggle. Xavier, Père-nya, terlalu terobsesi pada ambisinya menaklukkan Muggle dalam kekuatan pemerintahan dan ekonomi miliknya. Terobsesi memastikan setiap Muggle tergantung sepenuhnya pada kekuatan ekonomi yang dikuasainya. Memanfaatkan semua yang dia miliki termasuk keluarga untuk bisa mencapai tujuannya.

Dan Rigel benci itu.

Rigel benci pada Xavier yang memperlakukan istri dan anak-anaknya bagaikan alat. Mengatur setiap langkah dan tindak-tanduk mereka demi kesuksesan rencananya. Tua bangka botak menyebalkan. Diatas segalanya, Rigel membenci Muggle yang telah membuat ayahnya terobsesi dan gila kekuasaan. Membuat Xavier ‘membuang’ Rigel ke Inggris dan melarangnya bertemu dengan ibu dan kedua kakaknya, demi kelancaran rencana Xavier.

Kau tahu seperti apa Cassandra dalam pandangan Rigel yang sedang kalut saat itu?

Sampah. Parasit kotor yang hanya mengotori dunia sihir. Sampah yang harus dimusnahkan demi kelangsungan keberadaan dunia sihir. Itulah mengapa Rigel mengacungkan tongkatnya pada Cassandra. Ingin memusnahkan gadis itu dari muka bumi ini.

"Hello, Purebloods," suara manis bernada sinis memecah keheningan. Milik siapa lagi kalau bukan Friday BonClay? Seorang gadis Latin ramah dengan senyuman yang mampu membuat banyak pria gemetaran bahkan hanya melihatnya dari jarak dua meter. Sayangnya, hanya satu pria yang memenuhi seluruh relung otaknya selama berbulan-bulan. Laverne Zeev. Pria dingin misterius yang diidolakan oleh gadis-gadis seisi Hogwarts, namun sayangnya sudah melabuhkan cintanya pada sosok seorang Maria Antoinatte Roslane. Membuat banyak gadis berkeinginan untuk mengutuk mati gadis Ravenclaw baik hati itu, atau mencuri persediaan Amortentia milik Slughorn dan meneteskannya pada makanan milik Zeev.

Sayangnya, Friday tak bisa. Harga dirinya yang tinggi tidak mengizinkannya untuk memuja sosok seorang Laverne Zeev begitu dalamnya seperti gadis-gadis yang lain. Oh, tidak. Alih-alih menunjukkan kalau dia memuja Zeev dan mencari cara untuk mencekokinya Amortentia, Friday menampakkan wajah tak suka dan menebarkan tameng permusuhan setiap kali berada dalam radius beberapa meter dari Zeev. Kontradiktif. Membuat Friday terjebak dalam jaring laba-laba yang dipintalnya sendiri. Dalam kekalutannya, Friday menghindari Aula Besar karena tak tahan melihat Zeev selalu melabuhkan pandangannya ke Meja Ravenclaw, dimana Roslane duduk, dan berjalan-jalan tanpa arah sampai akhirnya memergoki Rigel yang memasuki toilet perempuan ini.

Oh, yeah. Sudahkah kuberitahu kalau ini toilet perempuan?

"Merasa cukup jago untuk menyiksa mudblood seperti para Pelahap Maut, eh? Coba lakukan, aku mau lihat," lanjut Friday dengan nada meremehkan. Tangannya menggenggam tongkat Reed-nya, bersiaga untuk yang paling tak terduga.

Andai kau tahu, kalau Friday sekalipun tidak tega untuk menyakiti Cassandra. Dalam hatinya yang terdalam, Friday berharap agar mereka tidak benar-benar berniat menyakiti Cassandra.

“Kau ini kenapa, kerasukan sesuatu? Ini bukan saatnya bersikap seperti orang suci dan menyelamatkan Mudblood kotor ini,” timpal Janette. Bahkan dalam demam tingginya, gadis itu tetap mengacungkan tongkat Hawthorn-nya ke arah Friday. Jangan coba-coba remehkan dia.

“Keberatan, Friday? Ada apa denganmu yang biasanya juga melecehkan para Mudblood ini di belakang?” Rigel membalas dengan tak kalah dinginnya. Jangan kaget melihat Rigel saat ini. Kebenciannya pada Muggle sudah pada puncaknya. “Para Muggle dan Mudblood, mereka tak pantas ada di dunia ini! Bukankah kau juga berpikiran hal yang sama? Kau juga membenci Muggle yang sudah merebut ayah dan Juan Carlos-mu, kan, Friday? Jangan munafik,” dengus Rigel. Dia tak menyangka ucapannya akan membuat pipinya memerah dan perih sedetik kemudian. Dalam luapan emosi dan malu skandal keluarganya diumbar begitu saja, Friday menampar Rigel.

“CUKUP, RIGEL! Jangan berani-berani lagi kau umbar masalah keluargaku! Tahu apa kau tentang keluargaku?!” teriaknya kalap. Hilang sudah image tenang yang sejak tadi berusaha ia pertahankan. Friday kalap, karena sesungguhnya, dalam hati dia mengakui kalau kata-kata Rigel benar. Muggle brengsek itu sudah merebut ayah dan kakak yang sangat dicintainya.

“Tapi aku benar, kan?! Akui sajalah, Friday! Tak perlu kau pelihara gengsimu itu untuk melindungi Muggle yang jelas-jelas kotor ini! Aku saja tak malu mengakui keluargaku berantakan karena Muggle-Muggle brengsek!” teriakan penuh amarah pemuda tanggung itu menggema di seluruh dinding kamar mandi. Dan hebatnya Myrtle tak kunjung muncul. Sedang mengadakan kunjungan ke Danau Hitam, mungkin?

“Ya! Ayahku menelantarkan keluarganya hanya karena obsesi bodohnya yang ingin menguasai para Muggle! Kalau saja Muggle-Muggle bodoh itu dilenyapkan, ayahku tak akan dikuasai ambisi kosong!”

“Berteriak-teriak dan mengancam seorang wanita dengan tongkat membuatmu lebih menyedihkan daripada Muggle, Noir,” dengusan merendahkan seseorang mengalihkan perhatian mereka. Ada orang lain yang bergabung. Rigel menaikkan alisnya, menatap sosok yang baru saja memasuki kamar mandi. Voe Goscinny, gadis psikopat yang digosipkan menyimpan belati perak untuk mengorek jantung siapa saja yang berdiri di antara dia dan Laverne Zeev. Sungguh, hanya suatu kebetulan saja gadis itu ‘terdampar’ di toilet ini. Gadis itu telah mengalami musim panas yang berat, dan kini dia memerlukan tempat untuk menenangkan pikirannya. Semuanya gara-gara wanita gila itu. Dia yang sudah menuduh Voe mengidap penyakit jiwa, dan membuatnya menjadi seperti sekarang ini. Wanita itulah yang harus disalahkan, karena dia juga sudah merebut Edgard-nya.

Berapa lama gadis itu berhasil menyingkirkan Laverne Zeev dari ingatannya? Semuanya karena Edgard Jones. Lagi, pria itu pulalah yang membuat Voe kembali rapuh, bahkan lebih rapuh dari biasanya. Kala pria itu mengatakan kalau mereka tak bisa lagi bersama, dan meninggalkannya sendirian, kembali ke jurangnya yang lama. Lama-lama Voe merasa dirinya seperti orang bodoh. Mengikuti Friday yang keluar dari Aula Besar demi sesuatu yang disebut persahabatan meski Voe berani bertaruh itu hanyalah omong kosong belaka, dan meninggalkan kegiatan memperhatikan wajah Zeev. Seharusnya tadi dia tetap di meja saja. Untuk apa dia mengikuti Friday bila akhirnya hanya akan menjerat dirinya sendiri ke dalam masalah?

Seringai mencibir terbentuk di wajah Rigel menyadari siapa yang datang. “Jangan. Ikut. Campur. Kuperingatkan, Goscinny,” setiap kata-katanya diucapkan Rigel dengan penuh ketegasan. Lagipula, untuk apa gadis psikopat itu ikut campur?

Kilatan aneh tertangkap pada tatapan Voe yang biasanya keruh dan sayu. Seringai menyeramkan terbentuk di bibirnya. Tanpa menghiraukan kata-kata Rigel, Voe bergerak mendekat. Menarik pisau lipat peraknya dari saku mantelnya.

“Oh, yeah? Lalu kalau aku ikut campur, kenapa? Apa yang akan kau lakukan, Noir?” bisik Voe dalam nada mistis. Pisaunya yang dingin menyentuh permukaan kulit Rigel, terasa begitu mencekam. Voe menggerakkan pisaunya, menyusuri lekuk tulang pipi Rigel, kemudian turun menuju lehernya…

KLONTRAANG!!!

Sekuat tenaga Rigel menepiskan tangan kanan Voe yang menggenggam pisau itu. Gila. Gadis ini gila. Siapa yang tahu dia akan menggorok lehernya atau tidak barusan? Ngeri, Rigel menatap gadis itu terdorong ke belakang seolah dalam gerakan lambat, pisaunya melayang. Mendarat di dekat kaki Cassandra, yang sejak tadi hanya terdiam, seolah sedang berada di luar tubuhnya dan menonton dirinya sendiri sedang ditindas oleh para Pureblood. Kilau cahaya tongkat Janette memantul di pisau perak itu, membuat kilatan aneh di mata Cassandra.

“Kenapa sih kalian selalu ribut-ribut menyebutku Mudblood? Darahku sama saja dengan kalian, sama-sama merah,” celetuknya tiba-tiba. Tak ada satupun yang menyadari, kalau Cassandra sudah memungut pisau lipat milik Voe. Janette mendengus geli.

“Sudah jelas kan, Mudblood bodoh? Apa perlu kuberitahu lagi? Kau hanyalah Mudblood kotor. Jangan kira hanya dengan kebetulan memiliki bakat sihir, membuatmu sederajat dengan kami. Kau tak lebih dari sampah kotor yang memiliki bakat sihir karena merebutnya dari para penyihir berdarah murni,” ujarnya dingin. Tongkatnya masih di tangan, diacungkan tinggi-tinggi demi penerangan ruangan. Tapi berani bertaruh, bila Cassandra berani berbuat macam-macam, tongkat itu akan segera bertindak. Meski pemiliknya sedang demam tinggi.

“Kubilang, darahku dan darah kalian sama-sama merah. Aku tak punya lumpur yang mengalir dalam darahku, berani sumpah! Masa kalian tak percaya? Sini, lihat sendiri kalau tak percaya,” dengan menggunakan pisau milik Voe, gadis Latin itu menyayat pergelangan tangannya sendiri. Tak dalam, tapi cukup dalam untuk membuat darah menyembur segar dari lukanya.

Tak ada seorangpun yang mengira, kalau gadis Latin yang dianggap tolol dan hina oleh mereka karena terlalu polos dan mempercayai kalau dunia penyihir itu sama indahnya seperti dongeng-dongeng yang selalu ia baca, kini dengan nekat menyayat pergelangan tangannya.

“Lihat? Darahku merah. Tak ada lumpur yang keluar, kan?” meringis menahan perih, gadis itu berkata polos sambil menunjukkan pergelangan tangannya yang kini berlumuran darah. Sebagian darahnya menetes ke lantai, mengalir mengikuti alur keramik di lantai menuju lubang pembuangan terdekat. Tangannya yang lain mengulurkan pisau perak milik Voe, seolah menantang mereka untuk juga menyayat tangan mereka.

“Ayo, buktikan kalau ucapanku salah! Buktikan kalau darah kalian lebih murni daripada darahku! Aku ingin tahu seperti apa yang disebut darah murni itu,” tantang gadis itu. Dengan cepat, Voe menyambar pisau miliknya dan menyayat tangannya tanpa banyak bicara. Berbeda dengan Cassandra, Voe seolah merasakan kenikmatan tersendiri saat menyayat tangannya. Kedua kelopak matanya terpejam erat, napasnya tertahan saat pisau merobek kulit mulusnya. Sebuah senyum mengerikan terkembang begitu darahnya mengucur deras. Bisa dipastikan, lukanya lebih dalam daripada luka Cassandra.

“Lihat, darahku dan darahnya sama-sama merah, kan?” tunjuk Cassandra dengan tangannya yang sehat, pada tetesan darah yang mengalir dari tangan Voe ke lantai. Membentuk satu alur dengan aliran darah Cassandra.

“Apa maumu?” akhirnya Janette sanggup mengeluarkan kata-kata.

“Aku mau lihat darah kalian,” jawab Cassandra keras kepala. Entah kerasukan apa, Janette menyambar pisau lipat itu dari tangan Voe, dan mengiris pergelangan tangannya alih-alih memantrai Cassandra. ‘Mantera’ itu rupanya tidak berhenti sampai di sini. Rigel menatap kosong tetesan darah yang menetes satu-satu dari tangan Janette, dan tangannya terulur mengambil pisau Voe. Untuk menyayat tangannya sendiri. Kemudian, seolah daging pergelangan tangannya tidak menganga dan tak ada darah mengucur deras, Rigel menyodorkan pisau itu ke depan hidung Friday yang mengamati dengan raut wajah mual. Oh, tapi dia tak bisa menolak, kan? Kemana harga dirinya kalau dia menolak? Meski dengan menyayat tangannya membuat Friday resmi masuk kumpulan orang gila. Matilah dia.

Seketika kamar mandi itu berubah menjadi sungai darah. Tetesan demi tetesan darah mengalir, menutupi lantai dengan warna merah. Bau amis yang menyengat menusuk hidung mereka. Senyum aneh kembali terkembang di wajah Cassandra.

“Tak ada lumpur dalam darahku. Darah yang mengalir di tubuhku sama seperti darah yang mengalir di tubuh kalian,” sambung Cassandra lagi. Kali ini, telunjuknya menunjuk pada genangan darah mereka berlima yang membentuk satu kubangan, kemudian mengalir dalam alur lambat yang besar menuju lubang pembuangan.

Janette, Rigel dan Friday hanya bisa menatap aliran darah mereka yang berkelok-kelok mengikuti celah alur lantai keramik dengan tatapan mata kosong. Seolah yang mengisi tubuh mereka bukan lagi mereka.

***

“AH! Senior! Tunggu!”

Suara nyaring seorang gadis junior mereka, disusul derap langkahnya yang berlari menyusul mereka, sontak membuat mereka menoleh. Schutzie Macbeth. Junior Slytherin kelas lima.

“Ada apa, Macbeth?” tanya Friday. Gadis itu nampak membawa-bawa kamera besar yang tergantung di lehernya.

“Difoto dulu, Senior. Protokoler acara, untuk dokumentasi,” jawabnya sambil nyengir. Kedua tangannya bersiap-siap mengambil gambar dua pemuda dan tiga orang gadis yang datang bersamaan, dan refleks kelimanya berpose.

“Nice pose, Senior. Thanks,” seru gadis itu, kembali beranjak untuk mencari korban lain untuk difoto.

“Wait! Macbeth!” seru Rigel, tangannya bergerak menghentikan gadis itu pergi. Dengan tatapan mata penuh keheranan, Schutzie tak urung pergi.

“Ada apa, Senior?”

“Hm, foto-foto ini, setelah kau cuci akan disimpan di mana?” tanya Rigel.

“Untuk dokumen kami. Kenapa memangnya?” jawab Schutzie, membuat Rigel menunduk dan membisikkan beberapa kata di telinga gadis itu. Bola mata gadis itu membulat, dengan khusyuk dia mendengarkan tiap kata yang dibisikkan Rigel.

“How? Mau kan?” tanya Rigel, kedua mata hijaunya menatap gadis berambut hitam itu penuh harap. Senyum Schutzie terkembang lebar, dan mengacungkan jempolnya.

“Beres, Senior. Tak sulit, kok. Mau berfoto di mana?” ujarnya, kembali bersiap dengan kamera hitamnya. Rigel mengembangkan senyuman penuh terima kasih, dan segera kembali pada teman-temannya yang menunggu dengan penuh tanda tanya.

“Rigel, ada apa—“

“Hooi!! Maaf aku terlambat!” ucapan Janette terpotong saat satu suara riang menyapa mereka dari belakang. Cassandra, langkahnya tergesa menyusul mereka dari arah menara Ravenclaw. Senyum Rigel kembali terkembang. “Bagus, kau sudah datang,” ujarnya. “Lucifer, tak keberatan kalau kami berlima berfoto dulu?” sambung Rigel pada seorang pemuda berambut hitam yang datang bersama mereka. Lucifer mengangkat bahu, seolah mengatakan ‘boleh-saja-aku-tak-keberatan’ dan menepi, sementara Rigel menarik tangan Cassandra agar sejajar dengan dirinya dan ketiga gadis lainnya.

“Bukannya kita baru saja difoto, Rigel?” tanya Voe. Rigel tersenyum misterius alih-alih menjawab pertanyaan Voe, dan balas memandangnya dengan tatapan ‘lihat-saja-nanti-sekarang-kau-berpose-dulu’.

“Sudah siap belum?” tanya Schutzie dari balik kameranya. Rigel nyengir dan mengacungkan jempolnya, tanda mereka sudah siap berpose.

“Siap, satu, dua, tiga,”

JEPRET!

“Keren. Kujamin hasilnya juga keren,” ujar Schutzie puas. Gadis itu pun melambaikan tangannya dan berlalu dari depan mereka, kembali memotret para murid yang berdatangan.

“Hobi sekali sih kau difoto, Rigel. Merasa diri paling tampan, padahal kau tak begitu tampan,” celetuk Friday, tak tahan ingin menggoda Rigel yang bahkan sampai meminta difoto ulang. Rigel hanya meliriknya, dan mendengus.

“Nanti juga kau akan tahu kenapa aku minta difoto ulang,” ujar Rigel dengan ekspresi sok-misterius.

“Boleh kuminta kembali gadisku, Rigel?” ujar Lucifer, membuat wajah seorang gadis Latin yang berdiri di antara mereka bersemu merah. Membuat Rigel tak tahan ingin menggodanya lagi.

“Bagaimana kalau kubilang tak boleh?” ujar Rigel dengan nada jahil. Rona merah di wajah gadis Latin itu menghilang, ekspresinya riangnya berubah cemberut. Tak tahan, Rigel tertawa.

“Bercanda Cass, aku bercanda. Sana, Lucifer sudah menunggumu,” Rigel menepuk pundak Cassandra, mendorongnya ke arah Lucifer. Sepertinya wajah Cassandra tak bisa lebih merah lagi dari ini. Dengan ekspresi menahan tawa, Lucifer mengedikkan kepalanya, berpamitan dan masuk ke Aula Besar lebih dulu.

“Voe, acara sudah mau dimulai,” panggilan seorang pemuda jangkung berambut jerami dari arah pintu Aula Besar mengalihkan perhatian mereka. Gadis pirang kurus itu pun mengangguk kecil tanda mengerti.

“Tunggu sebentar, Barty,” jawabnya. “Aku duluan, teman-teman. Dansa Ketua Murid, pembuka acara,” lanjutnya pada Friday, Rigel dan Janette yang masih berdiri di Aula Depan. Gadis itu melambai, dan berjalan anggun menyusul partnernya yang sudah menunggu di dalam Aula.

“Mana Tristain?” tanya Rigel, menyadari kalau Janette masih berdiri bersama mereka.

“Sudah duluan. Tugas Prefek atau apalah. Dia minta aku menyusulnya setelah tugasnya selesai,” jawab Janette.

“So, just three of us left, eh?” celetuk Rigel. Mau tak mau Janette dan Friday mengiyakan, meski itu terlihat seperti mengakui kalau mereka adalah pecundang karena tak membawa pasangan. Padahal ini adalah Prom Night kelulusan mereka.

“Dumbledore pelit sekali sih, tak mengizinkan kita mengundang murid yang sudah lulus,” ujar Friday, seolah seluruh hidup dan matinya tergantung pada hal itu.

“Sebegitu cintanya kau pada Francis,” timpal Janette. Friday menggulirkan bola matanya, memperlihatkan ekspresi ‘gembala-sapi-itu-lebih-baik-daripada-tak-ada-sama-sekali’ di wajahnya. Rigel menahan diri untuk tidak mengatakan 'Sebenarnya kau lebih memilih Laverne Zeev daripada MacManus, kan?' di depan kedua gadis itu. Laverne Zeev adalah topik yang 'sensitif' untuk disentuh. Meski tampaknya Janette, Friday dan Voe sudah bisa melakukan gencatan senjata untuk hal yang satu itu.

“Sudahlah, kita masuk saja. Barty akan menemanimu setelah tugasnya selesai, kan?” ucap Rigel, berusaha mendamaikan suasana. Tak urung Friday mengangguk juga. “Yeah, dan selagi kau menunggu Voe menyelesaikan tugasnya dengan Barty, kau bisa menemani kami berdua,” timpalnya, entah kenapa merasa senang melihat Rigel juga ‘kehilangan’ pasangannya.

"Well, if that's what you want, I'm gladly to escort both of you, Ladies," Rigel membungkukkan badannya ke arah Friday dan Janette, kemudian menyodorkan kedua sikunya pada Friday dan Janette yang berdiri di kedua sisinya. Seringai penuh arti terpasang di wajahnya, matanya berkilat nakal.

“Ayo masuk. Nanti ketinggalan dansa Voe dan Barty. Ini malam terakhir kita di Hogwarts. Kita harus bersenang-senang sampai mampus,” lanjut Rigel, cengiran nakalnya mengundang guliran bola mata Friday dan Janette. Meski mereka mau tak mau mengakui juga dalam hati dan tak urung menggandeng masing-masing lengan Rigel.

Ini malam terakhir mereka sebagai murid Hogwarts. Kenangan terakhir mereka.

Dan harus menjadi malam paling indah.

***

Kepak sayap seekor burung hantu serak berbulu cokelat gelap di jendela membangunkan seorang gadis yang masih terkubur di bawah selimutnya. Hari masih pagi. Gadis Latin itu menggeliat pelan, bangun setelah si burung hantu menggaruk-garukkan cakarnya di kaca.

“Aku datang, aku datang. Sabar sebentar bisa tidak sih,” rutuknya dengan suara-bantal, mencari-cari sandal kamarnya dan berjalan menuju jendela.

Sesosok lengan kurus dan ringkih terulur, membuka kunci jendela. Membiarkan seekor burung hantu berbulu seputih salju memasuki kamarnya. Kakinya terulur, menyodorkan amplop cokelat untuk dilepaskan dari ikatannya. Gadis itu menyibakkan rambut pirangnya yang masih meneteskan air, mengernyit membaca nama pengirimnya. Rigel du Noir. Penasaran, gadis itu duduk di tepi tempat tidurnya, merobek amplop suratnya.

Sehelai foto jatuh ke atas piringnya kala dia merobek amplop cokelat itu. Beruntung ibunya belum menuangkan isi sarapannya ke dalam piring. Bola mata hitam besarnya terbelalak, penuh rasa penasaran dan terpesona melihat foto itu. Meski sudah tujuh tahun bergelut dengan dunia sihir, rasa kagumnya akan foto bergerak tak pernah pudar. Dengan mulut ternganga seperti huruf O, gadis Latin itu mengamati foto di hadapannya. Foto mereka berlima. Perlahan, dibalikkannya foto itu. Ada tulisan tertera di sana.

“In the name—“

”—of our blood, who stands in here from left to the right,” kata-kata gadis tinggi dengan rambut hitam itu terhenti, sorot matanya yang biasanya tenang dan kalem kini terpana, seolah terperangkap dalam sihir yang dirangkai oleh kata-kata itu. Teringat kembali akan memori bertahun-tahun ke belakang, saat mereka disatukan oleh darah yang menggenang di lantai kamar mandi Myrtle Merana.

”Friday BonClay, Cassandra Almendarez, Rigel du Noir, Voe Goscinny, and Janette Blizzard,” suara matang seorang pemuda berusia tujuh belas tahun, terdengar bergumam pelan. Mengeja satu persatu nama yang tertera di belakang foto dalam genggamannya. Foto lima orang sahabat yang dipersatukan dalam keragaman oleh merahnya darah. Seulas senyum tersungging di bibir pemuda itu. Meloncat dari sofa di kamarnya, berlari turun mencari pigura kosong. Dia yakin melihat satu di kamar tidur kakaknya.

As we go on, we remember
All the times we had together
And as our lives change, come whatever
We will still be, friends forever


Song Credits to Vitamin C - Graduation
Some paragraphs credit to: Moaning thread in Moaning Myrtle Bathroom

0 Comments:

Post a Comment



Newer Post Older Post Home