You're Still The One #2

Friday nampak salah tingkah saat Rigel menyapanya. Rigel mengedikkan bahunya sedikit. Malu, mungkin? Well, dia kan memang belle, apa salahnya kalau Rigel jujur dan bilang dia cantik? Rigel memang tak pernah tega melihat perempuan bersedih dan murung. Hal itu selalu membuatnya merasa bersalah, merasa tidak bisa melindungi mereka dengan baik. Meski itu gadis yang baru saja dia kenal, seperti Friday. Rigel tersenyum, mengingat kalimat dari surat Callista yang baru saja dibacanya. Tak masalah bagi dia, dia sudah terbiasa dikelilingi para perempuan. Dia sudah terbiasa memperhatikan mereka, dan memastikan mereka baik-baik saja. Rasanya, sudah seperti naluri dalam dirinya sendiri. Dorongan untuk selalu melihat setiap perempuan yang dikenalnya tersenyum bahagia.

"Aku tidak murung kok, aku cuma serius memandangi danau. Duduklah, Noir."

Friday akhirnya menampakkan senyumnya. Agak berbeda dari senyumnya yang biasa, yang ini membuatnya terlihat lebih manis. Rigel membalas senyumnya, dan duduk di sebelah Friday. Matahari bergerak turun perlahan, menyelimuti mereka dengan sinar keemasan. Betul-betul sore menjelang musim gugur yang indah, kalau mengabaikan angin semakin kencang dan semakin dingin. Rigel merapatkan jubahnya, masih enggan kembali ke kastil. Kalau perlu, dia ingin berada di luar selama mungkin. DIa benci memikirkan dia harus kembali ke kamarnya. Oh, bukan. Itu bukan kamarnya. Itu kamar dia dan beberapa anak lain. Rigel semakin benci mengingat fakta kalau sekarang dia harus berbagi kamar dengan yang lain.

"Sepertinya bukan hanya kau yang serius menikmati pemandangan di danau," ucapnya. Rigel mengedikkan kepalanya ke arah beberapa orang yang juga berada di situ. Pemain biola yang sepertinya kakak kelasnya, dan sekarang mengganti lagunya, beberapa anak lain yang baru saja datang, dan.. Rigel mengenali sosoknya hanya dengan sekali lihat. Kapten Tim Quidditch Slytherin! Siapa anak Slytherin yang tidak mengenalnya? Tim asrama mereka terkenal karena tahun kemarin memenangkan Piala Asrama dan tidak pernah dikalahkan. Melipatgandakan keinginan Rigel unuk ikut bergabung dengan Tim Asrama. Well, untuk yang satu ini, dia bersedia bersikap rendah hati. Dia tidak tahu kemampuannya sejauh apa, karena jarang sekali mendapat kesempatan bisa bermain dengan orang lain.

Terlihat jelas dari ekspresi si Kapten, kalau dia masih terpukul karena pertandingan kemarin. Bukan cuma dia. Rigel pun terpukul. Dia kecewa karena merasa permainan Tim Slytherin yang kemarin dia saksikan, tidak pantas disebut sebagai permainan Tim pemenang Piala Quidditch. Entahlah. Mungkin dia memang belum melihat yang terbaik dari tim asramanya. Membuatnya semakin bernafsu mengikuti seleksi.

"Kau anak tunggal, Noir? Atau punya kakak? Aku punya kakak lelaki yang keren sekali, tetapi dia sekolah di Durmstrang."

Rigel mengalihkan pandangannya dari si Kapten. Dia tersenyum sebelum menjawab pertanyaan Friday. Terlihat sekali kalau Friday sangat membanggakan kakaknya.

"Aku punya dua kakak, keduanya perempuan dan sekolah di Beauxbatons. Callista kelas lima, Clémence kelas tiga," jawab Rigel. "Kau harus tahu bagaimana rasanya punya dua kakak perempuan. Mereka cerewet, dan kadang bisa jadi sangat menyebalkan karena sok mengatur. Tapi biar bagaimanapun," tatapan matanya menerawang saat mengingat kedua kakaknya, rasa rindu yang bertumpuk semakin membuncah di dadanya, "Mereka berdua kakak terbaik di seluruh dunia. Aku berharap aku sekolah di Beauxbatons juga alih-alih di sini. Jadi tidak perlu terpisah dari mereka. Apalagi Clémence, tubuhnya lemah. Aku selalu khawatir terjadi sesuatu yang buruk kalau tidak melihatnya," katanya, tanpa sadar malah bercerita panjang lebar tentang Clémence.

"Aku jadi ingin kenal dengan kakakmu, BonClay. Kenapa dia tidak sekolah di sini?" Rigel balas bertanya. Pertanyaan bodoh, sebetulnya. Bisa dibilang, mereka berdua berada dalam kondisi yang sama. Sama-sama sekolah di sekolah yang berbeda dengan saudara kandung mereka.

"Maaf kalau pertanyaanku salah. Hanya ingin tahu, tak ada maksud apa-apa. Tak perlu menjawab kalau pertanyaanku ini menyinggungmu," Rigel berkata dengan nada meminta maaf dalam kata-katanya. Rigel benar-benar berharap dia tidak salah bicara. Stupide! Untuk apa menanya-nanyakan hal itu? Ikut campur urusan orang saja!

Suara mendesis di belakangnya menarik perhatiannya. Rigel sontak menoleh, dan melihat seorang gadis berambut coklat lebat menyulut beberapa batang kembang api. Rigel menghela napas, lega ada yang bisa membuatnya mengalihkan topik pembicaraan. Bibirnya terbuka, hendak berkomentar, ketika dia menyadari ada sesuatu yang salah pada kembang api itu. Sangat salah.

"Kembang api Muggle," dengusnya pelan. Rigel tahu, tidak baik mengumpat di depan seorang gadis. Ketidaksukaannya pada apapun yang berembel-embel Muggle membuatnya tidak bisa mengontrol sikapnya. Rigel segera memperhatikan ekspresi Friday. Friday sepertinya Pureblood, karena gadis itu masuk Slytherin juga, dan menulis menggunakan pena bulu. Tapi, siapa yang tahu tentang pendapatnya mengenai Muggle? Terus terang, Rigel belum pernah berhadapan dengan Pureblood Pecinta Muggle, meski dia sudah pernah beberapa kali mendengar mereka. Rigel tak tahu harus berbuat apa. Dia berharap dalam hati, semoga apapun reaksi Friday selanjutnya, tidak membuat mereka jadi saling membenci.


Thread You're Still The One, Danau, 1974 (Best Thread). Post ke-2. (dan sukses WB serta berakhir dengan menelantarkan thread)

Interaksi dengan Friday BonClay (peserta thread banyak).

0 Comments:

Post a Comment



Newer Post Older Post Home