Pesta Awal Tahun Ajaran 1978 #2

MEJA SLYTHERIN

"—Berharap menemukan knut tapi kau malah menemukan galleon kutukan, eh? Berdoa saja kau tidak sekedar-ah. Ya. Menjadi pajangan dan tidak melakukan apa-apa selagi benda itu tersemat di dadamu," ucapan yang membuat Rigel tak bisa menahan dirinya untuk menyeringai meremehkan senior Asia pendeknya yang sama sekali tidak pantas memiliki rambut pirang. Jadi itu yang kau lakukan selama menjadi Prefek, Pavarell? "Galleon kutukan, Pavarell? Hm. Tak bisa tahu galleon itu akan mengutukku atau malah bisa kugunakan untuk mengutuk orang lain sebelum digunakan, am I right? And thanks for your advice. Melihat dirimu yang sekarang—" Rigel mendelik sinis pada Pavarell yang seolah ingin muntah saat berbicara dengannya "—aku tahu betapa efektifnya nasehatmu itu," tutupnya.

"—jangan tunjukkan ketidaksukaanmu pada Ketua Murid pilihan Dumbledore, eh? Tidak saat mereka pikir tempat ini adalah tempat paling aman yang ada di muka bumi," Rigel tertawa seketika mendengar kalimat selanjutnya yang keluar dari bibir Pavarell. "Lelucon yang bagus, mantan Prefek. Seolah seluruh isi Slytherin tidak menunjukkan ketidaksukaan mereka pada Sang Ketua Murid, yeah. Kreatif sekali," Rigel hampir bertepuk tangan menyoraki lelucon murahan Pavarell. "Perlukah kutambahkan kalau kau dan komplotanmu akan semakin kegirangan seperti para tikus di pembuangan sampah organik karena mendapatkan semakin banyak mainan?" Rigel merendahkan suaranya, memastikan hanya dia dan Pavarell yang mendengar.

Kejadian selanjutnya membuat Rigel malas melanjutkan perbincangan menyenangkannya lagi dengan Pavarell. Beradu mulut dengan Morcerf layaknya anak kecil, Rigel semakin kepayahan menahan dengusan meremehkannya untuk mereka berdua. Oh, dan Pavarell berhasil membuatnya lupa kalau di sana ada Friday juga. Benar-benar sempurna.—Meski kalau boleh dia menambahkan, malas rasanya Rigel terlibat dalam pembicaraan gadis itu dengan Goscinny mengenai, apa lagi kalau bukan Zeev?— Setidaknya Rigel mendapatkan apa yang dilihat si tua bangka pecinta Muggle itu pada diri Pavarell yang membuatnya tidak bisa menjadi Ketua Murid.

Seseorang tolong pukul kepala Rigel juga agar dia tidak berubah menjadi kekanakan seperti itu setelah menerima lencana Prefek, bisa kan? Siapa tahu itu penyakit yang menyebar dari lencana Prefek yang sudah entah berapa abad diturunkan. HA.

Meski begitu, Rigel masih sempat menangkap akhir pembicaraan mereka dimana Pavarell mengajak seisi meja untuk bersulang demi kejayaan Slytherin. Tak urung pemuda tanggung itu mengangkat pialanya juga, dan berhasil menahan senyum mendengar akhir kalimat yang diucapkan Morcerf keras-keras. "Tak bisa lebih setuju lagi denganmu, Morcerf," Rigel iseng menimpali.

Perhatian yang ia curahkan pada sepotong steak salmon di hadapannya sedikit terusik saat seseorang mengambil tempat duduk di sebelahnya, menggumamkan selamat pada mereka. Seringai Rigel sebelumnya seketika berubah menjadi senyuman khasnya melihat siapa yang datang. "Thanks a lot, again, Jane. Juga untuk ucapan selamatmu saat di kereta," ujarnya lembut. Matanya yang jeli menangkap raut wajah murung Janette yang sama sekali tidak berubah. Sekuali timah panas kembali diguyur ke perut Rigel, menyadari kalau mungkin saja Janette masih murung karena berita Prophet yang itu. Well, okay, okay. Dia sadar dia terlalu jauh menduga. Bisa saja gadis itu murung karena Void masih sakit. Tak ada salahnya dia tanya, kan? "Bagaimana keadaan Void, Jane? Aku tak keberatan mengantarmu menemui Profesor Kettleburn ataupun Hagrid malam ini. Atau mungkin besok pagi, kalau kau tak mau mengganggu istirahat malam mereka," sambung Rigel.

Ucapan selamat Janette berlanjut pada Pavarell. Hmph. Jane sayang, apa kau belum tahu siapa yang sebenarnya berhak mendapatkan ucapan selamatmu itu? Atau, justru mungkin tidak berhak? Tergantung dari sisi mana kau melihatnya. Sebelum bibirnya terbuka untuk menanggapi, Goscinny dengan baik hati memberitahu Janette lebih dulu kalau Pavarell tidak memerlukan ucapan selamat. "Beat me, Jane. Kau bahkan tak mau mengucapkan selamat bila tahu siapa yang sesungguhnya harus kau ucapi selamat," Rigel merendahkan nada bicaranya di telinga Janette.

"Aku tidak mengerti kenapa kalian begitu senang hanya karena menjadi Prefek? Aku bahkan tidak mengerti tujuan menjadi Prefek—" Seorang juniornya kembali berkoar-koar. Maksudnya ingin berkomentar betapa tidak penting dan menyedihkannya para Prefek ini, begitu? Hm, beat me. Aku pun berpendapat sama denganmu, juniorku yang manis. Hanya saja, tidak semua orang di dunia ini berpendapat sama dengan kita, sayangnya. Termasuk Père-ku 'tersayang', yang sedihnya menghargaiku hanya seharga lencana murahan ini. Maafkan aku jika kali ini aku harus membantahmu, juniorku. Nasib leherku bergantung pada berhasil tidaknya aku mempertahankan lencana ini. Dan Friday dengan manisnya menimpali kata-kata Latimer —ternyata itu namanya— telak.

"Life, Latimer, is more complicated than what you could expect. So human are. Senang menjadi Prefek? Well, define happy, then. Tak ada satu manusia pun yang tidak suka bila tangannya dijatuhi kekuasaan. And trust me, neither of you," Rigel tidak tahan ingin menambahkan kata-kata Friday.

You'll never understand even a single thing.


Thread Pesta Awal Tahun Ajaran, Aula Besar, 1978. Post ke-2.

Interaksi dengan Kane Dietritch Pavarell, Nicolas Morcerf, Janette Blizzard, Voe Goscinny, Ralph K. Latimer.

0 Comments:

Post a Comment



Newer Post Older Post Home