Surat Dari Hogwarts (1974)

Dengan peluh yang masih mengalir di tubuhnya, Rigel melangkah memasuki beranda belakang rumahnya, sebelah tangannya memanggul sapu. Matahari sudah naik tinggi di atas kepala. Rigel sudah bangun saat seisi rumahnya masih gelap, dan menyelinap berjalan-jalan di kebun rumahnya yang cukup luas. Memanjat pohon, lari sprint, mengejar jembalang, dan diakhiri dengan terbang beberapa lama, mencoba sapu hadiah ulang tahunnya. Ya, dia baru saja berulang tahun 5 Juni lalu. Père-nya menepati janji memberikan sapu terbang sebagai hadiah ulang tahun, sesuatu yang amat mustahil terjadi. Jarang sekali Père ingat akan janji-janjinya pada Rigel. Tak heran, Rigel amat menyayangi sapunya.

Sesosok Peri Rumah berbalut serbet teh yang dibentuk seperti toga tergesa-gesa menghampirinya. Tanpa berkata apa-apa, Rigel menyodorkan sapunya, memberi isyarat pada peri rumah itu untuk menyimpannya.

"Le maître, Monsieur Noir attend dans son atelier," ucap si Peri Rumah terbungkuk-bungkuk. Rigel yang sedianya akan bergerak ke Ruang Makan, terhenti. Dia balas memandang peri rumahnya, alisnya terangkat sebelah.

"Dites-lui, je veux prendre le petit déjeuner d'abord," kata Rigel cuek, kakinya terus melangkah menuju Ruang Makan. Dimana peri rumah lainnya sudah menunggu, dan membungkukkan badannya dalam-dalam saat Rigel masuk. Sarapan --atau mungkin sekarang lebih pantas disebut brunch-- sudah terhidang di atas meja. Tanpa mengganti bajunya yang bersimbah peluh terlebih dulu, Rigel duduk dan menyambar makanannya. Kalau Madame Noir melihatnya, Rigel akan mendapat pelototan dan ocehan Madame Noir panjang lebar, tentang dia harus menjaga manner meski sedang berada di rumah sendiri. Dia memang lapar berat.

"Mais le Maître, Monsieur Noir veut que vous veniez maintenant," tambah si peri rumah takut-takut. Rigel mendengus kesal, membanting garpu yang baru dipegangnya ke piring, dan melempar serbetnya. Kedua peri rumahnya tersentak, dan mengkerut ketakutan.

"D'accord! Dites-lui que je viendrai!" bentak Rigel, kesal dengan keegoisan Père-nya. Tidakkah Père-nya mengerti, kalau dia sedang kelaparan dan ingin mengisi perut sebelum diceramahi panjang lebar entah-karena-apa oleh Père-nya? Dipanggil ke ruang kerja ayahnya, hanya satu hal yang pasti. Dia baru melakukan sesuatu yang menurut Père-nya itu adalah kesalahan, atau Père memerintahkan sesuatu untuk dia lakukan, dan tidak menerima bantahan. Yang manapun, rasanya sama saja bagi Rigel. Tak ada yang bagus.

Rigel mengganti bajunya dengan tergesa-gesa di kamar. Hal lain yang membuatnya benci jika harus menemui Père, adalah dia harus selalu menghadap dengan pakaian rapi, tanpa ada keringat. Menemui Père dengan baju basah bersimbah peluh akan mengundang kemarahan lainnya, dan itu berarti ditahan tiga kali lipat lebih lama di Ruang Kerja Père. Cuma menghadap saja kenapa mesti pakai baju rapi, Rigel menggerutu.

"Bonjour, Père," sapanya sopan saat memasuki ruang kerja Monsieur Noir. Peraturan lain saat menemui Monsieur Noir: Berbicara dengan bahasa yang sopan. Entah itu dalam Prancis atau Inggris, Rigel harus selalu berbicara dengan sopan. Tidak buruk, memang. Hanya saja Rigel pegal jika harus berbicara sopan terus menerus.

"Aku baru dapat laporan dari guru Bahasa Inggris-mu. Perkembangan pelajaranmu buruk! Ada apa denganmu? Lupa kalau kau akan sekolah di Hogwarts September ini, dan kau harus menguasai Bahasa Inggris dengan baik?" Belum apa-apa, Monsieur Noir sudah membentak Rigel. Rigel mengertakkan giginya, marah, namun tak bisa berbuat apa-apa. Bukan berarti dia tidak pandai berbahasa Inggris. Sejak umurnya lima tahun, dia sudah fasih berbahasa Inggris, Spanyol, dan juga Belanda. Prancis, jangan ditanya lagi. Itu bahasa ibunya.

Ada hal lain yang membuatnya sengaja tampak bodoh saat pelajaran Bahasa Inggris. Dia enggan bersekolah di Hogwarts. Dia tidak habis pikir, kenapa Père memaksanya untuk bersekolah di sekolah yang penuh dengan Darah Lumpur itu? Amat sangat bertentangan dengan prinsip keluarganya selama ini. Selalu Berdarah Murni. Kenapa Père bukannya memasukkan dia ke Beauxbatons saja? Sekolah itu di Prancis, lebih dekat. Dan Darah-Lumpurnya tidak sebanyak di Hogwarts.

"Kalau begitu, aku tidak perlu bersekolah di Hogwarts, kan? Bahasa Inggrisku buruk, bagaimana aku bisa berkomunikasi dengan mereka? Lebih baik aku masuk Beauxbatons saja," ucap Rigel penuh harap. Ya, semoga saja. Semoga saja kalau Monsieur Noir mengira kemampuan Bahasa Inggris Rigel buruk, dia tidak akan dikirim ke Hogwarts.

Monsieur Noir memandangnya tajam. Saat itu juga, Rigel menyesal telah berkata seperti itu. Kalau Père sudah marah, itu artinya bencana. Namun, apa yang terjadi berikutnya benar-benar diluar dugaan Rigel. Monsieur Noir memandangnya dengan tatapan yang membuatnya terlihat berkali-kali lebih tua. Bulu kuduk Rigel berdiri. Ternyata, Père-nya yang seperti ini malah membuatnya tambah takut.

"Aku mengerti alasanmu tidak ingin pergi ke Hogwarts. Kau pikir aku tidak tahu kau pura-pura bodoh saat belajar Bahasa Inggris?" ucapan Monsieur Noir seolah menamparnya terang-terangan. Bagus. Akal-akalannya sudah ketahuan. Kesenangannya hilang. Sial.

"Jujur saja, Rigel. Aku pun berat melepasmu pergi ke sekolah yang penuh dengan Darah-Lumpur itu. Aku tidak rela membiarkan kau terkotori mereka," lanjut Monsieur Noir. Rigel mengangguk-angguk, sambil dalam hati mencecar pernyataan Père-nya. Kalau tidak rela, kenapa tetap memaksaku pergi? Étrange "Tapi, kupikir kau tidak akan cocok dengan sistem di Beauxbatons," Hei, Père, masuk saja belum, bagaimana aku bisa tahu aku cocok atau tidak dengan sistem di sana? "Mereka terlalu mengutamakan murid-murid perempuan. Terlalu feminin," Rigel mengangkat alisnya. "Kakak-kakakmu semua perempuan, wajar kalau aku memasukkan mereka ke sana. Tapi kau? TIdak, tidak. Kau terlalu berharga untuk masuk ke sekolah perempuan, Rigel," Rigel tertegun mendengar perkataan Père-nya. Berharga? Dia dianggap berharga? Jarang sekali Monsieur Noir memperhatikannya. Yeah, dia adalah anak laki-kali satu-satunya di keluarga Noir, dengan begitu, dia mendapatkan semua perhatian dan kasih sayang Madame Noir, fasilitas termudah, dan sebagainya. Tapi perhatian sang ayah, jangan harap. Monsieur Noir lebih dingin daripada gunung es.

"Inggris juga merupakan tempat yang sangat bagus untuk mengembangkan usaha. Sebelum kita membuka cabang di sana, alangkah baiknya kalau kau bisa tinggal lebih dulu di Inggris dan berbaur dengan masyarakat Inggris, mempelajari dan memahami kebiasaan mereka. Target konsumen perusahaan kita bukan hanya Penyihir, tapi juga Muggle. Benar, mereka hanyalah sampah-sampah tidak berguna. Karena itu, kitalah yang harus menguasai mereka, mengontrol mereka. Jalan yang terbaik adalah memulainya dari perekonomian," jelas Monsieur Noir selanjutnya. Perkataannya hampir menghapus rasa terharu yang sebelumnya Rigel rasakan. Ternyata benar, Père hanya memanfaatkan keberadaanku untuk memperlebar perusahaannya, batinnya pahit.

"Keputusanku tidak bisa diganggu gugat. Kau tetap akan pergi ke Hogwarts tanggal satu September nanti. Kau juga sudah menerima suratnya, kan? Jangan coba-coba menyembunyikannya. Aku tahu kalau surat dari Hogwarts sudah tiba," Rigel hanya tertunduk lesu mendengarnya. Lagi-lagi, rencananya gagal. Suratnya memang sudah sampai kemarin siang. Rigel sengaja menyembunyikanya, berharap dia bisa batal bersekolah di Hogwarts dan pergi ke Beauxbatons kalau kedua orangtuanya mengira Hogwarts tidak mengirimkan surat untuk Rigel.

"Berikan daftar keperluanmu pada Mère. Kita berangkat besok untuk berbelanja. Perjalanan ini akan panjang, jadi persiapkan fisikmu. Kita akan memakai Ferry menyebrangi Selat Channel, baru melanjutkan dengan Portkey," Kali ini, Rigel benar-benar tidak mempercayai pendengarannya. Apa? Apa yang barusan Père bilang? Dia akan ikut mengantarku berbelanja? Ini bagaikan mimpi di siang bolong. Seketika Rigel mengubah pendapatnya. Dia rela melakukan apa saja kalau itu untuk mendapatkan perhatian Monsieur Noir. Meski itu berarti dia harus terjun di tengah-tengah sampah berdarah lumpur. Non, je serai parfait. Aku hanya tidak perlu bergaul dengan mereka. Cukup mempelajari mereka dari jauh. Itu saja. Aku pasti bisa bertahan.

"D'accord, Père. Aku permisi dulu," jawabnya, kepalanya sedikit mengedik tanda memberi hormat, dan keluar ruangan. Rigel merasa saat ini dia bisa terbang tanpa harus bertransfigurasi menjadi burung ataupun memakai mantera Levitasi.


- Le maître, Monsieur Noir attend dans son atelier = Master, Mr. Noir meninggu Anda di ruang kerjanya.
- Dites-lui, je veux prendre le petit déjeuner d'abord = Katakan padanya, aku ingin sarapan dulu.
- Mais le Maître, Monsieur Noir veut que vous veniez maintenant = Tapi Master, Mr. Noir ingin Anda datang sekarang juga.
- D'accord! Dites-lui que je viendrai! = Baiklah! Katakan padanya aku akan datang!
- Bonjour, Père = Selamat siang, Ayah.
- Étrange = Aneh.
- Mère = Ibu.
- Non, je serai parfait. = Tidak, aku akan baik-baik saja.
- D'accord, Père = Baiklah, Ayah.

0 Comments:

Post a Comment



Newer Post Older Post Home