Amarah tak akan membawa manusia kemanapun. Seperti gelombang tsunami besar yang datang bergulung-gulung tanpa diundang, menyapu habis pantai dan peradaban manusia, dan pergi sama cepatnya dengan menyisakan kerusakan besar dan penderitaan. So anger is. Dia datang begitu mendadak, membutakan mata manusia, dan pergi sama mendadaknya dengan hanya menyisakan kerusakan yang terkadang sulit untuk diperbaiki. Dan penyesalan. Penyesalan tak tampak, yang akan lebih sulit untuk diperbaiki.
Persisnya itulah yang terjadi pada diri pemuda pirang jangkung berusia lima belas tahun ini. Sorot mata hijaunya yang keruh dan membara karena amarah, perlahan melunak saat sosok seorang gadis muda seusianya yang berurai air mata tertangkap oleh daerah pandangan matanya. Janette menangis. Bahkan saat gadis itu berkata dia tak apa, bahasa tubuhnya mengatakan hal yang bertolak belakang. Rigel sudah menakutinya, mungkin? Pemuda itu sudah berlagak seperti seekor kucing betina sombong yang terinjak ekornya dan mencakar membabi buta. Sempurna. Aku menghancurkan harga diriku sendiri di depan Jane, pikir pemuda itu pahit.
Amarah yang tadi begitu membara menghilang begitu saja, tanpa meninggalkan bekas apapun kecuali penyesalan. Seseorang dalam dirinya yang tadi begitu semangat memakinya bodoh dan memompa sejumlah besar tenaga pada otot-ototnya sehingga dia berlari tanpa dia sadari saat melihat Kane Dietrich Pavarell —bolehkah dia tambahkan kata 'brengsek' di sini?— menyentuh bibir Janette dan melayangkan tinjunya tanpa henti, kini menguap seperti vampir terkena matahari San Francisco. Oke. Bukan berarti Pavarell tidak berhak mendapatkan hukuman. Tapi kan dia bisa menggunakan cara lain, bukannya cara kasar seperti kuli pelabuhan? Menggunakan Cruciatus, misalnya. Atau meng-Imperio pemuda Asia itu untuk menjatuhkan dirinya sendiri dari menara Astronomi. Atau apapun yang tidak mengharuskannya mengotori tangannya sendiri.
And her tears made him being more miserable. Melihat butiran bening itu berjatuhan tanpa henti dan suara terpatah-patah gadis itu karena masih terisak, amarah Rigel kembali menggelegak —dan merasa menyesal sekaligus amat sangat bodoh di saat yang sama. Kepalan tangannya bergemeretak, berusaha menekan amarah yang mungkin akan membuatnya melakukan entah-apa yang lebih merusak. Dan untunglah Pavarell brengsek itu sudah menghilang dari hadapan mereka dengan ekor terkulai di antara kedua kakinya. Emosi Rigel pada pemuda itu sudah mencapai taraf yang bisa membuat Rigel mendatangkan seekor Naga Ekor-Berduri dewasa, dan mengumpankan Pavarell. Ibu jari Rigel dengan lembut menghapus butiran bening itu dari pipi Janette. Lembut. Mengingatkan Rigel akan marshmallow yang selalu dipanggangnya di perapian Palais du Noir saat musim dingin di masa kanak-kanaknya. Menyadari Janette tidak keberatan ketika Rigel merangkulnya, dia merasa lega. Dibimbingnya gadis itu melewati lubang dinding pintu masuk asrama.
"Rigel, kau seharusnya tidak memukul Pavarell." Pemuda itu menyeringai miris. Jane, tahukah kau kalau ucapanmu itu malah menambah berat penyesalanku? Dan Rigel hanya bisa membisu. Merasakan dingin tubuh Janette yang bersandar padanya. "Badanmu dingin sekali. Sini, duduk dekat perapian," katanya, dan membawa gadis itu duduk di sofa depan perapian. Iya. Dia sadar kalau kata-katanya itu bukanlah jawaban atau sanggahan atas perkataan Janette. Malah, terdengar lebih seperti mengalihkan topik pembicaraan. Entahlah. Rigel sendiri tak tahu harus berkata apa. Membela diri? Memaki Pavarell? Hell.
Pecundang.
Oh, akuilah Rigel, kau hanyalah seonggok pecundang yang bergerak tanpa berpikir terlebih dulu. Pecundang yang berlagak seperti seorang pangeran gagah berkuda putih yang menghunuskan pedangnya demi menyelamatkan sang Puteri, tapi ternyata hanyalah onggokan pecundang tak berotak. Dan kau masih belum juga sadar kenapa Rigel bisa menyesal seperti ini? Satu: Janette bukanlah gadisnya. Terlebih lagi, dia bukan milik siapa-siapa. Dia bebas. Jadi siapa dia, berhak memukuli pria lain yang menyentuh kedua bibir ranum itu? Apa matamu buta? Tidakkah kau lihat Pavarell mabuk berat sampai tidak sadar siapa yang diciumnya? Aku tak bisa membiarkan Janette dicium orang semacam itu! Yeah. Tetap saja, Rigel bukanlah siapa-siapa. Hanya seseorang yang kebetulan dekat dengan Janette.
Dua: Suka tidak suka Kane Dietrich Pavarell adalah seniornya. AbdiNya, yang meskipun bertentangan dengan nurani remaja tanggung itu karena Pavarell brengsek dan selalu memasang ekspresi apa-kau-lihat-lihat-kucolok-matamu itu, dia adalah abdiNya. Abdi Sang Pangeran Kegelapan nan agung. Abdi seseorang yang dipujanya.
Dan tiga: Demi Dewa Neptunus sang Penguasa Lautan, tolong kirimkan ombakmu yang terbesar untuk membersihkan kerak yang menutupi otak Rigel, agar dia ingat kalau dia adalah Prefek. Terlebih, ini malam pertamanya menjalankan tugas resmi sebagai Prefek. Dan dia sudah menghancurkannya, dengan bertindak gegabah dan berlagak seperti tukang pukul bayaran. Sempurna. Dia tak akan heran kalau besok pagi Dumbledore memanggilnya ke kantornya, dan mencopot lencana Prefeknya.
Embusan napas panjang keluar dari hidung pemuda itu. Berat. Tangannya membelai rambut halus Janette, berusaha mengulur waktu untuk menjawab. "Maaf," bisiknya parau. Dan kenapa malah kata itu yang keluar? "Gelap mata, yeah. Aku emosi dan sakit hati melihat dia mencium paksa dirimu, dan detik berikutnya aku bahkan tak sadar apa yang kulakukan," penyangkalan? Mungkin. Entahlah. Rigel meletakkan dagunya di puncak kepala Janette, dan mereguk aroma khas gadis itu, membiarkannya merasuk melalui kedua hidungnya, dan menenangkan otot-ototnya yang tegang.
Tahukah kau, Jane, kalau aku sakit hati melihatnya menciummu? He beats me. Dia mencurimu dariku. Dia mencuri dirimu yang sangat berharga untukku.
Rigel mengangkat kepalanya, menatap kedua bola mata sembab Janette. Berusaha menghiraukan rasa pedihnya setiap kali melihat kedua mata itu sembab. "Kau marah?"
Persisnya itulah yang terjadi pada diri pemuda pirang jangkung berusia lima belas tahun ini. Sorot mata hijaunya yang keruh dan membara karena amarah, perlahan melunak saat sosok seorang gadis muda seusianya yang berurai air mata tertangkap oleh daerah pandangan matanya. Janette menangis. Bahkan saat gadis itu berkata dia tak apa, bahasa tubuhnya mengatakan hal yang bertolak belakang. Rigel sudah menakutinya, mungkin? Pemuda itu sudah berlagak seperti seekor kucing betina sombong yang terinjak ekornya dan mencakar membabi buta. Sempurna. Aku menghancurkan harga diriku sendiri di depan Jane, pikir pemuda itu pahit.
Amarah yang tadi begitu membara menghilang begitu saja, tanpa meninggalkan bekas apapun kecuali penyesalan. Seseorang dalam dirinya yang tadi begitu semangat memakinya bodoh dan memompa sejumlah besar tenaga pada otot-ototnya sehingga dia berlari tanpa dia sadari saat melihat Kane Dietrich Pavarell —bolehkah dia tambahkan kata 'brengsek' di sini?— menyentuh bibir Janette dan melayangkan tinjunya tanpa henti, kini menguap seperti vampir terkena matahari San Francisco. Oke. Bukan berarti Pavarell tidak berhak mendapatkan hukuman. Tapi kan dia bisa menggunakan cara lain, bukannya cara kasar seperti kuli pelabuhan? Menggunakan Cruciatus, misalnya. Atau meng-Imperio pemuda Asia itu untuk menjatuhkan dirinya sendiri dari menara Astronomi. Atau apapun yang tidak mengharuskannya mengotori tangannya sendiri.
And her tears made him being more miserable. Melihat butiran bening itu berjatuhan tanpa henti dan suara terpatah-patah gadis itu karena masih terisak, amarah Rigel kembali menggelegak —dan merasa menyesal sekaligus amat sangat bodoh di saat yang sama. Kepalan tangannya bergemeretak, berusaha menekan amarah yang mungkin akan membuatnya melakukan entah-apa yang lebih merusak. Dan untunglah Pavarell brengsek itu sudah menghilang dari hadapan mereka dengan ekor terkulai di antara kedua kakinya. Emosi Rigel pada pemuda itu sudah mencapai taraf yang bisa membuat Rigel mendatangkan seekor Naga Ekor-Berduri dewasa, dan mengumpankan Pavarell. Ibu jari Rigel dengan lembut menghapus butiran bening itu dari pipi Janette. Lembut. Mengingatkan Rigel akan marshmallow yang selalu dipanggangnya di perapian Palais du Noir saat musim dingin di masa kanak-kanaknya. Menyadari Janette tidak keberatan ketika Rigel merangkulnya, dia merasa lega. Dibimbingnya gadis itu melewati lubang dinding pintu masuk asrama.
"Rigel, kau seharusnya tidak memukul Pavarell." Pemuda itu menyeringai miris. Jane, tahukah kau kalau ucapanmu itu malah menambah berat penyesalanku? Dan Rigel hanya bisa membisu. Merasakan dingin tubuh Janette yang bersandar padanya. "Badanmu dingin sekali. Sini, duduk dekat perapian," katanya, dan membawa gadis itu duduk di sofa depan perapian. Iya. Dia sadar kalau kata-katanya itu bukanlah jawaban atau sanggahan atas perkataan Janette. Malah, terdengar lebih seperti mengalihkan topik pembicaraan. Entahlah. Rigel sendiri tak tahu harus berkata apa. Membela diri? Memaki Pavarell? Hell.
Pecundang.
Oh, akuilah Rigel, kau hanyalah seonggok pecundang yang bergerak tanpa berpikir terlebih dulu. Pecundang yang berlagak seperti seorang pangeran gagah berkuda putih yang menghunuskan pedangnya demi menyelamatkan sang Puteri, tapi ternyata hanyalah onggokan pecundang tak berotak. Dan kau masih belum juga sadar kenapa Rigel bisa menyesal seperti ini? Satu: Janette bukanlah gadisnya. Terlebih lagi, dia bukan milik siapa-siapa. Dia bebas. Jadi siapa dia, berhak memukuli pria lain yang menyentuh kedua bibir ranum itu? Apa matamu buta? Tidakkah kau lihat Pavarell mabuk berat sampai tidak sadar siapa yang diciumnya? Aku tak bisa membiarkan Janette dicium orang semacam itu! Yeah. Tetap saja, Rigel bukanlah siapa-siapa. Hanya seseorang yang kebetulan dekat dengan Janette.
Dua: Suka tidak suka Kane Dietrich Pavarell adalah seniornya. AbdiNya, yang meskipun bertentangan dengan nurani remaja tanggung itu karena Pavarell brengsek dan selalu memasang ekspresi apa-kau-lihat-lihat-kucolok-matamu itu, dia adalah abdiNya. Abdi Sang Pangeran Kegelapan nan agung. Abdi seseorang yang dipujanya.
Dan tiga: Demi Dewa Neptunus sang Penguasa Lautan, tolong kirimkan ombakmu yang terbesar untuk membersihkan kerak yang menutupi otak Rigel, agar dia ingat kalau dia adalah Prefek. Terlebih, ini malam pertamanya menjalankan tugas resmi sebagai Prefek. Dan dia sudah menghancurkannya, dengan bertindak gegabah dan berlagak seperti tukang pukul bayaran. Sempurna. Dia tak akan heran kalau besok pagi Dumbledore memanggilnya ke kantornya, dan mencopot lencana Prefeknya.
Embusan napas panjang keluar dari hidung pemuda itu. Berat. Tangannya membelai rambut halus Janette, berusaha mengulur waktu untuk menjawab. "Maaf," bisiknya parau. Dan kenapa malah kata itu yang keluar? "Gelap mata, yeah. Aku emosi dan sakit hati melihat dia mencium paksa dirimu, dan detik berikutnya aku bahkan tak sadar apa yang kulakukan," penyangkalan? Mungkin. Entahlah. Rigel meletakkan dagunya di puncak kepala Janette, dan mereguk aroma khas gadis itu, membiarkannya merasuk melalui kedua hidungnya, dan menenangkan otot-ototnya yang tegang.
Tahukah kau, Jane, kalau aku sakit hati melihatnya menciummu? He beats me. Dia mencurimu dariku. Dia mencuri dirimu yang sangat berharga untukku.
Rigel mengangkat kepalanya, menatap kedua bola mata sembab Janette. Berusaha menghiraukan rasa pedihnya setiap kali melihat kedua mata itu sembab. "Kau marah?"
Thread Here, Ruang Bawah Tanah, 1978. Post ke-2. Timeline setelah Pesta Awal Tahun Ajaran 1978/1979.
Interaksi dengan Kane Dietrich Pavarell, Shaula Khan, dan Janette Blizzard.
Interaksi dengan Kane Dietrich Pavarell, Shaula Khan, dan Janette Blizzard.
Labels: 1978, Here, Ruang Bawah Tanah
Tahu sesuatu yang disebut insting? Atau firasat, atau naluri, semua itu sama saja. Well, dia tinggal bertahun-tahun dengan tiga orang wanita yang selalu meributkan mengenai sesuatu yang mereka sebut sebagai 'insting wanita', jadi jangan salahkan Rigel kalau lama kelamaan dia sedikit banyak memperhatikan firasatnya. Terutama kalau dia merasakan sesuatu yang buruk akan datang.
Dan malam ini perasaan itu menghinggapinya begitu tiba-tiba.
Kalau saja dia bisa, Rigel ingin menyerahkan tugas mengantar anak-anak kelas satu ini ke asrama pada Prefek lain dan bergelung di dalam selimutnya, mencoba menyingkirkan perasaan tidak enak yang menyapanya tiba-tiba. Slytherin punya empat Prefek, dan, well, meski berat mengakuinya, satu Ketua Murid, jadi, kenapa harus dia dan Goscinny yang membawa barisan bocah-bocah ini seperti guru Taman Kanak-Kanak? Sekalian saja beri dia maraccas, dan suruh dia menyanyikan lagu anak-anak. But—yeah, dia memerlukan lencana itu tetap berada di tangannya, jadi dia tak bisa melempar tugasnya begitu saja. Mon Dieu.
Ekor matanya menangkap sosok Janette yang juga ikut rombongan mereka keluar Aula Besar. Timah yang menggelayuti perutnya seketika bertambah berat dan menggelegak. Taruhan seratus Galleon, ini ada apa-apanya dengan Pavarell. Seseorang dalam tubuhnya meneriakkan kata-kata perintah untuk tetap di luar dan menemani gadis itu saat Janette menelengkan kepalanya, menyapa Rigel yang berdiri di depan tembok batu berlumut kehijauan —pintu masuk Asrama Slytherin, kalau kau belum tahu— sebelum pemuda jangkung itu membisikkan kata kuncinya. Ragu. Jelas-jelas seluruh anggota tubuhnya, bahkan pikirannya, meneriakkan satu perintah yang sama: Ajak Janette masuk. Atau temani dia, kalau gadis itu berkeras untuk tetap menemui Pavarell.
Terkadang kenyataan tak mengizinkan semua keinginan manusia terwujud. Melawan nalurinya, Rigel menyunggingkan senyum perpisahan pada Janette. Mengikuti anak-anak kelas satu masuk, dan menerangkan pada mereka di mana kamar mereka—serta membacakan peraturan dalam asrama. Persis seperti lima tahun lalu: hanya saja, kali ini Rigel yang memberikan instruksi. Dan —demi sesuatu yang disebut 'menghargai privasi orang lain'— Rigel memilih mengawasi Janette dari ambang pintu asrama. Melawan seseorang dari dalam dirinya yang terus menerus memaki-nya stupide karena tidak menarik Janette masuk.
All hail Lucifer the King of the Devil.
Bahkan kalau kau merebus Rigel di dasar neraka terdalam, rasa bersalah itu tak bisa hilang. Karena, guess what? He probably had done the biggest mistake in his life. Rien! Sial! Sial! SIAL! Bodoh! "Jane!" seru Rigel begitu keluar dari Asrama. Seseorang dalam dirinya kini mengalirkan kekuatan yang cukup besar pada kedua tangannya.
"YOU!" umpat Rigel—kedua tangannya menarik kerah kemeja idiot pemabuk itu.
"FILTHY—!" satu pukulan.
"—IDIOT—!" itu dua.
"—PATHETIC—!" itu tiga.
"—DRUNKER!!" empat. Empat tinjunya melayang sekuat tenaga, satu-satu seiring kata-katanya ke wajah tampan Pavarell. Haruskah dia tambahkan, hidung itu tak akan lurus lagi setelah beberapa pukulan darinya?
"Sebelumnya aku menaruh sedikit hormat padamu, terlebih karena kau adalah abdi-Nya. Ternyata aku salah, eh?" desis Rigel rajam, suaranya sarat dengan amarah yang membara di matanya. Tak pernah dia berbicara sekejam ini pada seorang Pureblood. "Sampah. Pengecut menyedihkan yang lari pada minuman keras karena kehilangan kekuasaan," Rigel menggertakkan giginya. Seolah belum puas, tinjunya kembali melayang. Lima. "Sudah sadar dari mabukmu, sekarang? HAH?!" Enam. "Sampah! Sekotor Muggle! Kau layak dihancurkan dengan cara Muggle!" Tujuh. Total tujuh tinju sarat dengan kekuatan seorang pemuda murka mendarat di wajah dan ulu hati anak Asia itu.
Seolah jijik dengan kata-katanya sendiri, Rigel melepaskan cengkeramannya di kerah baju Pavarell, dan mendorongnya keras, membuat pemuda Asia itu jatuh tersungkur. Tepat di kaki seorang gadis yang baru Rigel sadari keberadaannya di sana kira-kira lima detik yang lalu.
"Sekarang kau sadar kalau pacar kecilmu ini tidak sesuci kelihatannya, Miss Khan?" ujarnya kasar. "Kalian berdua punya banyak hal untuk dibicarakan, tampaknya," kesinisan semakin terasa di setiap kata-katanya. Rigel berbalik. Dia sudah muak bahkan hanya melihat wajah menyedihkan Pavarell. Sosok Janette terlihat rapuh di hadapannya dengan air mata membasahi seluruh wajahnya. Dipikir-pikir lagi, baru kali ini Rigel melihat gadis itu menangis. Sial. Pemikiran itu malah menambah rasa bersalahnya, membuatnya semakin menjadi-jadi.
"Kau tak apa, Jane?" tanya Rigel penuh kecemasan. Perlahan, disentuhnya kedua bahu gadis itu yang terpaku bersandar ke dinding. Merlin, hukum aku yang membiarkannya berduaan dengan setan pemabuk itu, batinnya miris. "Kita masuk sekarang, ya?" tawarnya, masih dengan suara penuh kelembutan. Perlahan, seolah memperlakukan porselen mahal dari Cina, Rigel merengkuh tubuh gadis itu. Berharap bisa melakukan sesuatu untuk menebus rasa bersalahnya.
"Maafkan aku. Tidak seharusnya kutinggalkan kau berduaan dengan bajingan pemabuk itu," sesalnya. Penyesalan yang tak akan bisa hilang.
Dan malam ini perasaan itu menghinggapinya begitu tiba-tiba.
Kalau saja dia bisa, Rigel ingin menyerahkan tugas mengantar anak-anak kelas satu ini ke asrama pada Prefek lain dan bergelung di dalam selimutnya, mencoba menyingkirkan perasaan tidak enak yang menyapanya tiba-tiba. Slytherin punya empat Prefek, dan, well, meski berat mengakuinya, satu Ketua Murid, jadi, kenapa harus dia dan Goscinny yang membawa barisan bocah-bocah ini seperti guru Taman Kanak-Kanak? Sekalian saja beri dia maraccas, dan suruh dia menyanyikan lagu anak-anak. But—yeah, dia memerlukan lencana itu tetap berada di tangannya, jadi dia tak bisa melempar tugasnya begitu saja. Mon Dieu.
Ekor matanya menangkap sosok Janette yang juga ikut rombongan mereka keluar Aula Besar. Timah yang menggelayuti perutnya seketika bertambah berat dan menggelegak. Taruhan seratus Galleon, ini ada apa-apanya dengan Pavarell. Seseorang dalam tubuhnya meneriakkan kata-kata perintah untuk tetap di luar dan menemani gadis itu saat Janette menelengkan kepalanya, menyapa Rigel yang berdiri di depan tembok batu berlumut kehijauan —pintu masuk Asrama Slytherin, kalau kau belum tahu— sebelum pemuda jangkung itu membisikkan kata kuncinya. Ragu. Jelas-jelas seluruh anggota tubuhnya, bahkan pikirannya, meneriakkan satu perintah yang sama: Ajak Janette masuk. Atau temani dia, kalau gadis itu berkeras untuk tetap menemui Pavarell.
Terkadang kenyataan tak mengizinkan semua keinginan manusia terwujud. Melawan nalurinya, Rigel menyunggingkan senyum perpisahan pada Janette. Mengikuti anak-anak kelas satu masuk, dan menerangkan pada mereka di mana kamar mereka—serta membacakan peraturan dalam asrama. Persis seperti lima tahun lalu: hanya saja, kali ini Rigel yang memberikan instruksi. Dan —demi sesuatu yang disebut 'menghargai privasi orang lain'— Rigel memilih mengawasi Janette dari ambang pintu asrama. Melawan seseorang dari dalam dirinya yang terus menerus memaki-nya stupide karena tidak menarik Janette masuk.
All hail Lucifer the King of the Devil.
Bahkan kalau kau merebus Rigel di dasar neraka terdalam, rasa bersalah itu tak bisa hilang. Karena, guess what? He probably had done the biggest mistake in his life. Rien! Sial! Sial! SIAL! Bodoh! "Jane!" seru Rigel begitu keluar dari Asrama. Seseorang dalam dirinya kini mengalirkan kekuatan yang cukup besar pada kedua tangannya.
"YOU!" umpat Rigel—kedua tangannya menarik kerah kemeja idiot pemabuk itu.
"FILTHY—!" satu pukulan.
"—IDIOT—!" itu dua.
"—PATHETIC—!" itu tiga.
"—DRUNKER!!" empat. Empat tinjunya melayang sekuat tenaga, satu-satu seiring kata-katanya ke wajah tampan Pavarell. Haruskah dia tambahkan, hidung itu tak akan lurus lagi setelah beberapa pukulan darinya?
"Sebelumnya aku menaruh sedikit hormat padamu, terlebih karena kau adalah abdi-Nya. Ternyata aku salah, eh?" desis Rigel rajam, suaranya sarat dengan amarah yang membara di matanya. Tak pernah dia berbicara sekejam ini pada seorang Pureblood. "Sampah. Pengecut menyedihkan yang lari pada minuman keras karena kehilangan kekuasaan," Rigel menggertakkan giginya. Seolah belum puas, tinjunya kembali melayang. Lima. "Sudah sadar dari mabukmu, sekarang? HAH?!" Enam. "Sampah! Sekotor Muggle! Kau layak dihancurkan dengan cara Muggle!" Tujuh. Total tujuh tinju sarat dengan kekuatan seorang pemuda murka mendarat di wajah dan ulu hati anak Asia itu.
Seolah jijik dengan kata-katanya sendiri, Rigel melepaskan cengkeramannya di kerah baju Pavarell, dan mendorongnya keras, membuat pemuda Asia itu jatuh tersungkur. Tepat di kaki seorang gadis yang baru Rigel sadari keberadaannya di sana kira-kira lima detik yang lalu.
"Sekarang kau sadar kalau pacar kecilmu ini tidak sesuci kelihatannya, Miss Khan?" ujarnya kasar. "Kalian berdua punya banyak hal untuk dibicarakan, tampaknya," kesinisan semakin terasa di setiap kata-katanya. Rigel berbalik. Dia sudah muak bahkan hanya melihat wajah menyedihkan Pavarell. Sosok Janette terlihat rapuh di hadapannya dengan air mata membasahi seluruh wajahnya. Dipikir-pikir lagi, baru kali ini Rigel melihat gadis itu menangis. Sial. Pemikiran itu malah menambah rasa bersalahnya, membuatnya semakin menjadi-jadi.
"Kau tak apa, Jane?" tanya Rigel penuh kecemasan. Perlahan, disentuhnya kedua bahu gadis itu yang terpaku bersandar ke dinding. Merlin, hukum aku yang membiarkannya berduaan dengan setan pemabuk itu, batinnya miris. "Kita masuk sekarang, ya?" tawarnya, masih dengan suara penuh kelembutan. Perlahan, seolah memperlakukan porselen mahal dari Cina, Rigel merengkuh tubuh gadis itu. Berharap bisa melakukan sesuatu untuk menebus rasa bersalahnya.
"Maafkan aku. Tidak seharusnya kutinggalkan kau berduaan dengan bajingan pemabuk itu," sesalnya. Penyesalan yang tak akan bisa hilang.
Thread Here, Ruang Bawah Tanah, 1978. Post ke-1. Timeline setelah Pesta Awal Tahun Ajaran 1978/1979.
Interaksi dengan Kane Dietrich Pavarell, Shaula Khan, dan Janette Blizzard.
Interaksi dengan Kane Dietrich Pavarell, Shaula Khan, dan Janette Blizzard.
Labels: 1978, Here, Ruang Bawah Tanah
Subscribe to:
Posts (Atom)