"Pertanyaan apa yang tidak akan pernah bisa kalian jawab iya?"
Rigel terpekur memikirkannya. Well, untuk saat ini sebenarnya banyak hal yang tidak ingin dia jawab iya. Misalnya, bila dia ditanya apakah dia ingin tinggal di Rumah Hantu ini selamanya. Atau apakah dia bersedia berciuman dengan hantu pria berewokan itu di bawah mistletoe. Ew. Memikirkannya saja Rigel sudah ingin muntah. Masih ada sejuta orang lain yang lebih baik untuk dicium di bawah mistletoe selain pria tua pucat berewokan dengan bau menusuk dan... er, apa itu dagingnya yang mengelupas di wajahnya? Yucks. McFadden, misalnya. Speaking of that— Rigel mencuri pandang penuh arti pada gadis di sebelahnya itu. Sebuah seringai samar tak kentara terbentuk di wajahnya.
"Pertanyaan apa yang tidak akan pernah bisa kalian jawab iya?"
Tok, tok. Hello, Monsieur Rigel. Sebaiknya segera kembalikan pikiranmu ke alam nyata saat ini juga, karena apa? Karena kau sedang terjebak dengan indahnya di dalam sebuah ruangan aneh penuh ramuan yang pasti tak kalah anehnya bersama sesosok pria tua sinting yang dia masih belum yakin apakah itu hantu, poltergeist, mayat hidup, atau manusia. Bahkan McFadden pun setuju dan berkomentar tentang kalau orang itu gila, dan berdiri semakin rapat dengannya. Rigel mengerdipkan matanya pelan, dan kembali memikirkan pertanyaan pria tua itu. Ekor matanya menangkap sebentuk tengkorak di tangan si pria tua, dan—ergh. Mereka saling berbisik. Rigel memutar bola matanya. Rasanya seperti melihat dua orang gadis tukang gosip sedang berbisik-bisik berbagi gosip.
Kedua partnernya tak memberikan bantuan berarti dalam menjawab pertanyaan ini. Rigel mendengus kesal. Okelah, dia maklum kalau McFadden terdiam, mungkin saking ketakutannya gadis itu tak bisa berpikir apa-apa selain berkomentar kalau orang itu sudah gila. Tapi Reiflein? Oh, please. Kalau pemuda itu juga tak berbicara karena membeku saking ketakutannya, Rigel punya bahan tertawaan bagus untuk seluruh Slytherin sampai Chaser itu lulus dari Hogwarts. "Bantu berpikir apa jawaban yang dia minta, bisa kan? Kecuali kalau kalian ingin tinggal di sini selamanya," akhirnya kata-kata itu terucap dari mulut Rigel.
TEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEET!!
Suara panjang bel terdengar bergema di seluruh ruangan. Mau tak mau Rigel terkejut. Geez. Apa lagi ini? Suatu sinyal-kah? Sebab—Rigel mendapati pria tua dengan cengiran sinting di wajahnya itu tiba-tiba terjatuh dan tertidur. Alisnya terangkat sebelah. Apa ini berarti waktu bermain-main di Rumah Hantu sudah selesai, hm? Well, sayang sekali kalau begitu. Rasanya mereka baru saja akan memulai permainan. Apa ini karena mereka datang terlambat ke Pesta Halloween?
Rigel menyadari sebuah pintu tiba-tiba menjeblak terbuka di belakang si pria tua dengan cengiran sinting di wajahnya itu. Dan—oh! Mereka tiba-tiba bisa bergerak kembali. Sepertinya benar, kalau begitu. Sudah waktunya bagi mereka untuk keluar ruangan. Dia pun mendapati McFadden merangkul lengannya erat saat bunyi bel itu terdengar, dan buru-buru melepaskannya dengan gugup. Roda-roda otak Rigel berputar cepat. Sebelum McFadden sempat melangkah Rigel menarik lembut tangannya, melingkarkan tangan kanannya di pinggang ramping McFadden—dan menciumnya. Tepat di bibir.
Mm—not bad, batin Rigel. Yeah, kapan lagi dia bisa mencium bibir McFadden yang terkenal itu? Rigel yakin ini bukanlah ciuman pertama McFadden—ayolah, dia sudah kelas enam! Keterlaluan kalau belum pernah berciuman. Terutama tahun lalu, saat Pesta Dansa. Rasanya hampir semua pasangan, bahkan anak-anak ingusan yang masih kelas dua atau kelas tiga, sudah berciuman. Tak masalah. Toh ini pun bukan saat pertama baginya. Rigel tak mempermasalahkan dengan siapa McFadden pernah berciuman sebelumnya. Yang penting—saat ini McFadden adalah miliknya. Dan dia tidak salah memilih orang untuk dicium. Rigel memejamkan matanya, berusaha menghirup sebanyak mungkin aroma khas tubuhnya. He wants to capture the taste of her little delicate lips, forever. Rasa manis bibirnya membuat Rigel lupa kalau mereka sedang berada di dalam Rumah Hantu—oh, dan dengan Reiflein berdiri di samping mereka, menonton seluruh adegan ciuman mereka. Tapi—memangnya dia peduli?
And after some times that seems to be forever—they've broke. Wajah Rigel masih berada begitu dekat dengan McFadden, ujung hidungnya hampir menyentuh kulit lembut McFadden yang bagaikan kaca. Rigel menarik napas dalam-dalam, menghirup aroma khas McFadden yang hampir membuatnya mabuk kepayang sebanyak-banyaknya. Tangan kanan Rigel menyentuh dagu McFadden, Ibu jarinya mengelus pelan bibir mungil gadis itu yang merekah merah. Sebentuk senyuman melengkung di wajahnya.
"There's something that we shouldn't missed under the mistletoe," katanya, tatapan matanya masih terkunci di kedua bola mata hitam milik McFadden. Dia kembali menggamit tangan McFadden, mengenggamnya lembut. Dia mengangguk saat McFadden mengajak mereka keluar, dan menarik tangan gadis itu. "Kau juga, Reiflein. Kecuali kalau kau masih ingin menemani pria tua sinting itu," katanya santai tanpa menoleh lagi ke arah Chaser Slytherin itu. Peduli setan kalaupun nanti dia marah. Bukan urusannya.
Dia mendapati sebuah selasar mirip dengan selasar sebelumnya terbentang di depan mereka. Rigel menyusuri selasar itu hingga mendapati sebuah tangga kayu reyot—menuruninya, kembali menyusuri lorong gelap berdebu penuh sarang laba-laba, hingga—akhirnya. Pintu keluar. Rigel memutar pegangannya yang sudah berkarat dan menariknya.
Udara malam terasa amat sangat segar setelah begitu lama terperangkap di dalam ruangan pengap penuh bau tidak jelas. Rigel menarik napasnya dalam-dalam, membersihkan kembali paru-parunya yang tercemar oleh bau bensin, debu, dan jamur di dalam rumah itu. Samar-samar terdengar suara sekelompok orang menyanyi. Ah, ya. Pesta masih belum selesai rupanya. Di depan mereka tampak sekelompok orang berkerumun, dengan sekelompok lain berdiri terpisah, memakai topeng di wajah mereka. Klub musik, eh? Rigel melirik kedua partnernya sekilas dan meneruskan berjalan menuju kerumunan itu.
"Parfummu wangi, McFadden. Cocok untukmu," ujarnya lirih di telinga gadis itu.
Rigel terpekur memikirkannya. Well, untuk saat ini sebenarnya banyak hal yang tidak ingin dia jawab iya. Misalnya, bila dia ditanya apakah dia ingin tinggal di Rumah Hantu ini selamanya. Atau apakah dia bersedia berciuman dengan hantu pria berewokan itu di bawah mistletoe. Ew. Memikirkannya saja Rigel sudah ingin muntah. Masih ada sejuta orang lain yang lebih baik untuk dicium di bawah mistletoe selain pria tua pucat berewokan dengan bau menusuk dan... er, apa itu dagingnya yang mengelupas di wajahnya? Yucks. McFadden, misalnya. Speaking of that— Rigel mencuri pandang penuh arti pada gadis di sebelahnya itu. Sebuah seringai samar tak kentara terbentuk di wajahnya.
"Pertanyaan apa yang tidak akan pernah bisa kalian jawab iya?"
Tok, tok. Hello, Monsieur Rigel. Sebaiknya segera kembalikan pikiranmu ke alam nyata saat ini juga, karena apa? Karena kau sedang terjebak dengan indahnya di dalam sebuah ruangan aneh penuh ramuan yang pasti tak kalah anehnya bersama sesosok pria tua sinting yang dia masih belum yakin apakah itu hantu, poltergeist, mayat hidup, atau manusia. Bahkan McFadden pun setuju dan berkomentar tentang kalau orang itu gila, dan berdiri semakin rapat dengannya. Rigel mengerdipkan matanya pelan, dan kembali memikirkan pertanyaan pria tua itu. Ekor matanya menangkap sebentuk tengkorak di tangan si pria tua, dan—ergh. Mereka saling berbisik. Rigel memutar bola matanya. Rasanya seperti melihat dua orang gadis tukang gosip sedang berbisik-bisik berbagi gosip.
Kedua partnernya tak memberikan bantuan berarti dalam menjawab pertanyaan ini. Rigel mendengus kesal. Okelah, dia maklum kalau McFadden terdiam, mungkin saking ketakutannya gadis itu tak bisa berpikir apa-apa selain berkomentar kalau orang itu sudah gila. Tapi Reiflein? Oh, please. Kalau pemuda itu juga tak berbicara karena membeku saking ketakutannya, Rigel punya bahan tertawaan bagus untuk seluruh Slytherin sampai Chaser itu lulus dari Hogwarts. "Bantu berpikir apa jawaban yang dia minta, bisa kan? Kecuali kalau kalian ingin tinggal di sini selamanya," akhirnya kata-kata itu terucap dari mulut Rigel.
TEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEET!!
Suara panjang bel terdengar bergema di seluruh ruangan. Mau tak mau Rigel terkejut. Geez. Apa lagi ini? Suatu sinyal-kah? Sebab—Rigel mendapati pria tua dengan cengiran sinting di wajahnya itu tiba-tiba terjatuh dan tertidur. Alisnya terangkat sebelah. Apa ini berarti waktu bermain-main di Rumah Hantu sudah selesai, hm? Well, sayang sekali kalau begitu. Rasanya mereka baru saja akan memulai permainan. Apa ini karena mereka datang terlambat ke Pesta Halloween?
Rigel menyadari sebuah pintu tiba-tiba menjeblak terbuka di belakang si pria tua dengan cengiran sinting di wajahnya itu. Dan—oh! Mereka tiba-tiba bisa bergerak kembali. Sepertinya benar, kalau begitu. Sudah waktunya bagi mereka untuk keluar ruangan. Dia pun mendapati McFadden merangkul lengannya erat saat bunyi bel itu terdengar, dan buru-buru melepaskannya dengan gugup. Roda-roda otak Rigel berputar cepat. Sebelum McFadden sempat melangkah Rigel menarik lembut tangannya, melingkarkan tangan kanannya di pinggang ramping McFadden—dan menciumnya. Tepat di bibir.
Mm—not bad, batin Rigel. Yeah, kapan lagi dia bisa mencium bibir McFadden yang terkenal itu? Rigel yakin ini bukanlah ciuman pertama McFadden—ayolah, dia sudah kelas enam! Keterlaluan kalau belum pernah berciuman. Terutama tahun lalu, saat Pesta Dansa. Rasanya hampir semua pasangan, bahkan anak-anak ingusan yang masih kelas dua atau kelas tiga, sudah berciuman. Tak masalah. Toh ini pun bukan saat pertama baginya. Rigel tak mempermasalahkan dengan siapa McFadden pernah berciuman sebelumnya. Yang penting—saat ini McFadden adalah miliknya. Dan dia tidak salah memilih orang untuk dicium. Rigel memejamkan matanya, berusaha menghirup sebanyak mungkin aroma khas tubuhnya. He wants to capture the taste of her little delicate lips, forever. Rasa manis bibirnya membuat Rigel lupa kalau mereka sedang berada di dalam Rumah Hantu—oh, dan dengan Reiflein berdiri di samping mereka, menonton seluruh adegan ciuman mereka. Tapi—memangnya dia peduli?
And after some times that seems to be forever—they've broke. Wajah Rigel masih berada begitu dekat dengan McFadden, ujung hidungnya hampir menyentuh kulit lembut McFadden yang bagaikan kaca. Rigel menarik napas dalam-dalam, menghirup aroma khas McFadden yang hampir membuatnya mabuk kepayang sebanyak-banyaknya. Tangan kanan Rigel menyentuh dagu McFadden, Ibu jarinya mengelus pelan bibir mungil gadis itu yang merekah merah. Sebentuk senyuman melengkung di wajahnya.
"There's something that we shouldn't missed under the mistletoe," katanya, tatapan matanya masih terkunci di kedua bola mata hitam milik McFadden. Dia kembali menggamit tangan McFadden, mengenggamnya lembut. Dia mengangguk saat McFadden mengajak mereka keluar, dan menarik tangan gadis itu. "Kau juga, Reiflein. Kecuali kalau kau masih ingin menemani pria tua sinting itu," katanya santai tanpa menoleh lagi ke arah Chaser Slytherin itu. Peduli setan kalaupun nanti dia marah. Bukan urusannya.
Dia mendapati sebuah selasar mirip dengan selasar sebelumnya terbentang di depan mereka. Rigel menyusuri selasar itu hingga mendapati sebuah tangga kayu reyot—menuruninya, kembali menyusuri lorong gelap berdebu penuh sarang laba-laba, hingga—akhirnya. Pintu keluar. Rigel memutar pegangannya yang sudah berkarat dan menariknya.
Udara malam terasa amat sangat segar setelah begitu lama terperangkap di dalam ruangan pengap penuh bau tidak jelas. Rigel menarik napasnya dalam-dalam, membersihkan kembali paru-parunya yang tercemar oleh bau bensin, debu, dan jamur di dalam rumah itu. Samar-samar terdengar suara sekelompok orang menyanyi. Ah, ya. Pesta masih belum selesai rupanya. Di depan mereka tampak sekelompok orang berkerumun, dengan sekelompok lain berdiri terpisah, memakai topeng di wajah mereka. Klub musik, eh? Rigel melirik kedua partnernya sekilas dan meneruskan berjalan menuju kerumunan itu.
"Parfummu wangi, McFadden. Cocok untukmu," ujarnya lirih di telinga gadis itu.
Labels: 1977, Dedalu Perkasa, Halloween
0 Comments:
Subscribe to:
Post Comments (Atom)