Rigel melirik ke arah counter bar, memperhatikan Madame Noir yang masih saja sibuk melakukan entah apa di counter. Rigel menghela napasnya. Se presser en haut , Mère. Je suis tellement qui a soif. Beli minum saja kenapa mesti lama. Rigel duduk di kursi yang masih kosong, tanpa menunggu salah seorang dari mereka menjawab sapaannya dia sebelumnya. Toh dia sudah minta izin. Ini bar umum, apa hak mereka melarang?
"Waarom jullie spraken niet Engels?"
Lagi, seseorang yang berbahasa asing. Bahasa Belanda, Rigel mengenalinya. Rigel mengangkat alisnya. Étrange. Dia sendiri bisa bahasa Inggris atau tidak, nih? Bertanya kenapa mereka tidak berbahasa Inggris, tapi pakai Bahasa Belanda. Rigel memperhatikan gadis yang barusan berbicara. Rambutnya hitam, tangannya memegang seekor... iguana? Peliharaannya kah? Effronté, jarang ada anak perempuan mau memelihara reptil. Apa dia juga suka reptil lainnya? Suka bertualang juga kah? Aku harus tanya nanti batin Rigel.
"Tak ada alasan khusus. Hanya iseng, karena Nona itu bicara Bahasa Norwegia," jawab Rigel sekenanya, masih tetap memberikan senyumannya. Senyum adalah alat paling ampuh untuk menghadapi para gadis, begitu yang selalu dikatakan Monsieur Noir padanya. Rigel ingin mengujinya sekarang, apakah kata-kata Père-nya benar? Sebelum ini dia jarang sekali berkesempatan bertemu dengan banyak gadis dalam waktu bersamaan, jadi dia belum pernah membuktikan semua kata-kata ayahnya tentang para gadis.
Seorang gadis bertubuh imut kembali mendatangi meja mereka. Belum apa-apa, gadis itu melemparkan es krim ke anak laki-laki berambut hitam yang duduk semeja dengan mereka. Lagi-lagi, pikiran bahwa orang Inggris semuanya gila merasuk ke dalam otaknya. Sejak pertama tiba di Inggris, tak ada satupun yang berkenan di hatinya. Well, mungkin dia bisa betah nanti di Château du Noir. Bukan, dia harus bisa betah. Pour l'amour de Dieu, itu tempat tinggalnya selama tujuh tahun ke depan! Mau tak mau, dia harus betah.
"Ada apa denganmu, Nona? Tersandung sampai es krim-mu jatuh?" sapa Rigel pada anak itu. Sesaat ada rasa ragu dalam hatinya. Apakah anak ini Pureblood? Dia tidak sudi kalau sampai harus menolong Darah-Lumpur. Mengucapkannya saja sudah membuatnya jijik. Di sisi lain, dia seorang gadis. Sudah seharusnya Rigel menolongnya. Akhirnya Rigel menyodorkan sapu tangannya, untuk membantu anak itu membersihkan es krimnya. "Kau Pureblood?" tanya Rigel otomatis. Sepertinya pertanyaan yang selalu ditanyakannya pada setiap orang yang dia temui, kalau dia tidak yakin akan status darah orang itu. Tidak sopan, memang. Monsieur Noir pasti akan memukul kepalanya, karena Rigel bertanya secara eksplisit. Tanyakan secara halus, Rigel! Jangan sampai dia PureBlood dan tersinggung dengan perkataanmu! Kau bisa tanya apa ayah dan ibunya penyihir, itu lebih baik, begitu selalu yang diucapkan Monsieur Noir. Rigel mengedikkan bahunya. Comme je m'inquiète, itu terlalu panjang. Père tak akan tahu.
"O , Parece venimos desde diferente país does no él?"
Lagi, ada yang berbicara bahasa asing, seorang gadis berambut hitam dengan wajah ceria. Oke, kali ini dia menyerah. Dia tidak tahu anak ini bicara bahasa apa. Yang jelas bukan bahasa di dataran Eropa, meski sedikit mirip dengan bahasa Spanyol. Dia pasti tahu kalau itu bahasa yang digunakan di Eropa, hasil dari pelajaran Bahasa-nya di rumah. Seperti biasa, Monsieur Noir-lah yang memaksanya belajar bahasa-bahasa Eropa. Penting kalau mereka ingin perusahaannya merambah seluruh Eropa, katanya. Rigel sekarang menyadari betapa pergunanya pelajaran bahasa ini. Dia bersumpah tidak akan kabur lagi selama pelajaran bahasa. Anak itu bukan dari Eropa, barangkali? batin Rigel. Rigel yang mulutnya sudah setengah terbuka akan menyapa anak itu, urung saat mendengar apa yang selanjutnya dikatakan gadis itu. Membuatnya tiba-tiba jijik padanya.
"Ternyata penyihir itu berasal dari semua negara yah. Aku malah menyangka penyihir itu berasal dari bulan, terutama nenek sihir yang cekikikan dan siluetnya menutupi sinar bulan. Ternyata penyihir hanya berasal dari masing-masing negara. Bukankah begitu?"
"Darah-Lumpur," desis Rigel pelan. Dia sama sekali tidak bermaksud menyembunyikan ketidaksukaannya pada gadis itu. Cantik, Rigel mengakui. Tapi percuma kalau Darah-Lumpur. Gadis itu harus tahu kalau dia sama sekali tidak berhak berada di dunia ini, keberadaannya hanya menambah sampah di dunia sihir. Rigel sama sekali tidak berminat mendengar ocehan gadis itu selanjutnya. Tidak penting. Sejujurnya, saat itu juga Rigel ingin sekali pergi dari situ, dan mencari tempat lain. Tapi, tunggu dulu. Anak yang pakai pena bulu itu masih betah di sini. Jangan-jangan dia bukan Pureblood? Mereka berdua jelas-jelas sudah duduk bersama sejak tadi, kecurigaan memenuhi benaknya.
Anak yang menulis memakai pena bulu pink itu sekarang mengoceh dalam Bahasa Spanyol tentang mereka harus bicara dalam bahasa Inggris. Gadis Asia yang duduk di sebelahnya juga menimpali pelan, setuju dengan kata-kata gadis itu. Avancé, dia baru berbicara satu kalimat dalam bahasa asing! Dan itu bukan karena dia tidak sanggup berbahasa Inggris. Rigel hanya iseng, karena ada yang berbicara bahasa Norwegia. Karena Rigel merasa senasib, sama-sama bukan orang Inggris? Rigel mengira gadis itu sama sepertinya, enggan berbahasa Inggris. Darah-Lumpur itu kembali mengoceh dalam bahasa yang tadi dia gunakan, dan gadis yang memegang pena bulu menerjemahkannya. Quoi que, aku tak peduli dengan apa yang dikatakan Darah Lumpur itu. Buang-buang waktu.
"Maaf saja, Nona, aku hanya berkata sekali dalam bahasa Norwegia. Maafkan aku sudah membuatmu terintimidasi karena kau tidak mengerti bahasa tersebut," ujar Rigel pada gadis berambut hitam dan gadis Asia itu.
"Snakkar du norsk?"
Gadis pirang itu bertanya balik pada Rigel. Rigel hanya tersenyum samar, dan menjawab, "Rettferdig en smule. JEG tenke du er ubenyttet å samtalen inne Engelske."
"Walaupun kita berasal dari negara yang berbeda... kurasa aku berbeda jauh dari kalian. Kalian orang rendahan, sementara aku.. bangsawan."
Gadis ini bangsawan juga? Quelle coïncidence! Rigel tak menyangka bisa bertemu bangsawan lain di sini. Dia kira tak ada bangsawan lain yang sudi bersekolah di Hogwarts selain dirinya, yang alasannya tidak lain dan tidak bukan karena dipaksa oleh Monsieur Noir. Dan perintah Monsieur Noir adalah segalanya, kalau dia tidak mau dicoret dari daftar ahli waris. Tampaknya gadis ini pun tidak nyaman dengan suasana di bar ini, terlihat jelas dari kata-katanya yang merendahkan mereka. Jujur saja, Rigel pun tidak suka dia direndahkan seperti itu. Dia juga bangsawan, dan tidak pantas direndahkan seperti itu. Dialah yang harusnya merendahkan orang, bukan direndahkan.
"Maaf kalau aku membuatmu marah, Nona. Aku tidak mengira kalau Anda juga bangsawan, sama sepertiku. Penampilan bisa menipu, rupanya," kata Rigel pada gadis itu, sengaja memberikan penekanan pada kata 'juga'. Gadis ini harus tahu, kalau dia bukanlah satu-satunya bangsawan di sini.
Seorang anak lain mendatangi mereka. Anak lelaki berambut hitam dan berwajah muram. Mungkin dia juga mendengar pembicaraan di meja mereka, karena anak itu tiba-tiba mengeluarkan penanya, menulis di atas secarik perkamen, dan mengedarkan perkamennya ke seluruh meja saat dia selesai. Anak ini bisu ya, sampai harus menulis kalau mau bicara? Rigel membaca tulisan di atas perkamen itu. Ya ampun. Sekarang huruf Yunani. Anak itu tidak tahu alfabet, eh? Atau dia lebih mendukung kekaisaran Yunani sehingga enggan menggunakan huruf alfabet yang berasal dari Romawi, dan lebih memilih menggunakan huruf Yunani?
"Kalian--kalian mengapa tidak menggunakan bahasa internasional? Bahasa Inggris?"
Rigel memandangi anak itu dengan pandangan melecehkan. Anak ini bisa bicara, ternyata. Bisa bahasa Inggris pula. Lalu apa maksudnya mengedarkan perkamen dengan tulisan huruf Yunani? Apa dia tidak mengira kalau ada yang bisa membacanya selain dia? Yeah, Rigel bisa membacanya. Sekarang dia benar-benar bersyukur Monsieur Noir sudah memfasilitasi dia untuk mempelajari bahasa-bahasa di Eropa. Yeah, tidak semua dia kuasai dengan baik memang. Paling tidak, ada beberapa yang bisa dia kuasai dengan baik.
"Bukan berarti aku tidak bisa Bahasa Inggris. Aku hanya belum terbiasa berbahasa Inggris. Aku baru tiba di negara ini dua hari lalu, pour l'amour de Dieu!" jawab Rigel, membalas ucapan sinis anak itu dengan tingkat kesinisan yang sama. Dia mungkin Pureblood, tapi sikapnya membuat Rigel ingin menjejalkan kepala anak itu ke sarang Acromantula.
- Se presser en haut , Mère. Je suis tellement qui a soif. = Cepatlah, Ibu. Aku sudah kehausan.
- Étrange = Aneh.
- Effronté = Cool.
- Pour l'amour de Dieu = For heaven's sake -really, I don't know what's this meaning in Indonesia. Please forgive me.-
- Comme je m'inquiète = Like I care
- Avancé = Ayolah
- Quoi que = Terserahlah
- Quelle coïncidence = Kebetulan sekali
- Rettferdig en smule. JEG tenke du er ubenyttet å samtalen inne Engelske = Hanya sedikit. Kupikir kau tidak terbiasa berbahasa Inggris.
"Waarom jullie spraken niet Engels?"
Lagi, seseorang yang berbahasa asing. Bahasa Belanda, Rigel mengenalinya. Rigel mengangkat alisnya. Étrange. Dia sendiri bisa bahasa Inggris atau tidak, nih? Bertanya kenapa mereka tidak berbahasa Inggris, tapi pakai Bahasa Belanda. Rigel memperhatikan gadis yang barusan berbicara. Rambutnya hitam, tangannya memegang seekor... iguana? Peliharaannya kah? Effronté, jarang ada anak perempuan mau memelihara reptil. Apa dia juga suka reptil lainnya? Suka bertualang juga kah? Aku harus tanya nanti batin Rigel.
"Tak ada alasan khusus. Hanya iseng, karena Nona itu bicara Bahasa Norwegia," jawab Rigel sekenanya, masih tetap memberikan senyumannya. Senyum adalah alat paling ampuh untuk menghadapi para gadis, begitu yang selalu dikatakan Monsieur Noir padanya. Rigel ingin mengujinya sekarang, apakah kata-kata Père-nya benar? Sebelum ini dia jarang sekali berkesempatan bertemu dengan banyak gadis dalam waktu bersamaan, jadi dia belum pernah membuktikan semua kata-kata ayahnya tentang para gadis.
Seorang gadis bertubuh imut kembali mendatangi meja mereka. Belum apa-apa, gadis itu melemparkan es krim ke anak laki-laki berambut hitam yang duduk semeja dengan mereka. Lagi-lagi, pikiran bahwa orang Inggris semuanya gila merasuk ke dalam otaknya. Sejak pertama tiba di Inggris, tak ada satupun yang berkenan di hatinya. Well, mungkin dia bisa betah nanti di Château du Noir. Bukan, dia harus bisa betah. Pour l'amour de Dieu, itu tempat tinggalnya selama tujuh tahun ke depan! Mau tak mau, dia harus betah.
"Ada apa denganmu, Nona? Tersandung sampai es krim-mu jatuh?" sapa Rigel pada anak itu. Sesaat ada rasa ragu dalam hatinya. Apakah anak ini Pureblood? Dia tidak sudi kalau sampai harus menolong Darah-Lumpur. Mengucapkannya saja sudah membuatnya jijik. Di sisi lain, dia seorang gadis. Sudah seharusnya Rigel menolongnya. Akhirnya Rigel menyodorkan sapu tangannya, untuk membantu anak itu membersihkan es krimnya. "Kau Pureblood?" tanya Rigel otomatis. Sepertinya pertanyaan yang selalu ditanyakannya pada setiap orang yang dia temui, kalau dia tidak yakin akan status darah orang itu. Tidak sopan, memang. Monsieur Noir pasti akan memukul kepalanya, karena Rigel bertanya secara eksplisit. Tanyakan secara halus, Rigel! Jangan sampai dia PureBlood dan tersinggung dengan perkataanmu! Kau bisa tanya apa ayah dan ibunya penyihir, itu lebih baik, begitu selalu yang diucapkan Monsieur Noir. Rigel mengedikkan bahunya. Comme je m'inquiète, itu terlalu panjang. Père tak akan tahu.
"O , Parece venimos desde diferente país does no él?"
Lagi, ada yang berbicara bahasa asing, seorang gadis berambut hitam dengan wajah ceria. Oke, kali ini dia menyerah. Dia tidak tahu anak ini bicara bahasa apa. Yang jelas bukan bahasa di dataran Eropa, meski sedikit mirip dengan bahasa Spanyol. Dia pasti tahu kalau itu bahasa yang digunakan di Eropa, hasil dari pelajaran Bahasa-nya di rumah. Seperti biasa, Monsieur Noir-lah yang memaksanya belajar bahasa-bahasa Eropa. Penting kalau mereka ingin perusahaannya merambah seluruh Eropa, katanya. Rigel sekarang menyadari betapa pergunanya pelajaran bahasa ini. Dia bersumpah tidak akan kabur lagi selama pelajaran bahasa. Anak itu bukan dari Eropa, barangkali? batin Rigel. Rigel yang mulutnya sudah setengah terbuka akan menyapa anak itu, urung saat mendengar apa yang selanjutnya dikatakan gadis itu. Membuatnya tiba-tiba jijik padanya.
"Ternyata penyihir itu berasal dari semua negara yah. Aku malah menyangka penyihir itu berasal dari bulan, terutama nenek sihir yang cekikikan dan siluetnya menutupi sinar bulan. Ternyata penyihir hanya berasal dari masing-masing negara. Bukankah begitu?"
"Darah-Lumpur," desis Rigel pelan. Dia sama sekali tidak bermaksud menyembunyikan ketidaksukaannya pada gadis itu. Cantik, Rigel mengakui. Tapi percuma kalau Darah-Lumpur. Gadis itu harus tahu kalau dia sama sekali tidak berhak berada di dunia ini, keberadaannya hanya menambah sampah di dunia sihir. Rigel sama sekali tidak berminat mendengar ocehan gadis itu selanjutnya. Tidak penting. Sejujurnya, saat itu juga Rigel ingin sekali pergi dari situ, dan mencari tempat lain. Tapi, tunggu dulu. Anak yang pakai pena bulu itu masih betah di sini. Jangan-jangan dia bukan Pureblood? Mereka berdua jelas-jelas sudah duduk bersama sejak tadi, kecurigaan memenuhi benaknya.
Anak yang menulis memakai pena bulu pink itu sekarang mengoceh dalam Bahasa Spanyol tentang mereka harus bicara dalam bahasa Inggris. Gadis Asia yang duduk di sebelahnya juga menimpali pelan, setuju dengan kata-kata gadis itu. Avancé, dia baru berbicara satu kalimat dalam bahasa asing! Dan itu bukan karena dia tidak sanggup berbahasa Inggris. Rigel hanya iseng, karena ada yang berbicara bahasa Norwegia. Karena Rigel merasa senasib, sama-sama bukan orang Inggris? Rigel mengira gadis itu sama sepertinya, enggan berbahasa Inggris. Darah-Lumpur itu kembali mengoceh dalam bahasa yang tadi dia gunakan, dan gadis yang memegang pena bulu menerjemahkannya. Quoi que, aku tak peduli dengan apa yang dikatakan Darah Lumpur itu. Buang-buang waktu.
"Maaf saja, Nona, aku hanya berkata sekali dalam bahasa Norwegia. Maafkan aku sudah membuatmu terintimidasi karena kau tidak mengerti bahasa tersebut," ujar Rigel pada gadis berambut hitam dan gadis Asia itu.
"Snakkar du norsk?"
Gadis pirang itu bertanya balik pada Rigel. Rigel hanya tersenyum samar, dan menjawab, "Rettferdig en smule. JEG tenke du er ubenyttet å samtalen inne Engelske."
"Walaupun kita berasal dari negara yang berbeda... kurasa aku berbeda jauh dari kalian. Kalian orang rendahan, sementara aku.. bangsawan."
Gadis ini bangsawan juga? Quelle coïncidence! Rigel tak menyangka bisa bertemu bangsawan lain di sini. Dia kira tak ada bangsawan lain yang sudi bersekolah di Hogwarts selain dirinya, yang alasannya tidak lain dan tidak bukan karena dipaksa oleh Monsieur Noir. Dan perintah Monsieur Noir adalah segalanya, kalau dia tidak mau dicoret dari daftar ahli waris. Tampaknya gadis ini pun tidak nyaman dengan suasana di bar ini, terlihat jelas dari kata-katanya yang merendahkan mereka. Jujur saja, Rigel pun tidak suka dia direndahkan seperti itu. Dia juga bangsawan, dan tidak pantas direndahkan seperti itu. Dialah yang harusnya merendahkan orang, bukan direndahkan.
"Maaf kalau aku membuatmu marah, Nona. Aku tidak mengira kalau Anda juga bangsawan, sama sepertiku. Penampilan bisa menipu, rupanya," kata Rigel pada gadis itu, sengaja memberikan penekanan pada kata 'juga'. Gadis ini harus tahu, kalau dia bukanlah satu-satunya bangsawan di sini.
Seorang anak lain mendatangi mereka. Anak lelaki berambut hitam dan berwajah muram. Mungkin dia juga mendengar pembicaraan di meja mereka, karena anak itu tiba-tiba mengeluarkan penanya, menulis di atas secarik perkamen, dan mengedarkan perkamennya ke seluruh meja saat dia selesai. Anak ini bisu ya, sampai harus menulis kalau mau bicara? Rigel membaca tulisan di atas perkamen itu. Ya ampun. Sekarang huruf Yunani. Anak itu tidak tahu alfabet, eh? Atau dia lebih mendukung kekaisaran Yunani sehingga enggan menggunakan huruf alfabet yang berasal dari Romawi, dan lebih memilih menggunakan huruf Yunani?
"Kalian--kalian mengapa tidak menggunakan bahasa internasional? Bahasa Inggris?"
Rigel memandangi anak itu dengan pandangan melecehkan. Anak ini bisa bicara, ternyata. Bisa bahasa Inggris pula. Lalu apa maksudnya mengedarkan perkamen dengan tulisan huruf Yunani? Apa dia tidak mengira kalau ada yang bisa membacanya selain dia? Yeah, Rigel bisa membacanya. Sekarang dia benar-benar bersyukur Monsieur Noir sudah memfasilitasi dia untuk mempelajari bahasa-bahasa di Eropa. Yeah, tidak semua dia kuasai dengan baik memang. Paling tidak, ada beberapa yang bisa dia kuasai dengan baik.
"Bukan berarti aku tidak bisa Bahasa Inggris. Aku hanya belum terbiasa berbahasa Inggris. Aku baru tiba di negara ini dua hari lalu, pour l'amour de Dieu!" jawab Rigel, membalas ucapan sinis anak itu dengan tingkat kesinisan yang sama. Dia mungkin Pureblood, tapi sikapnya membuat Rigel ingin menjejalkan kepala anak itu ke sarang Acromantula.
- Se presser en haut , Mère. Je suis tellement qui a soif. = Cepatlah, Ibu. Aku sudah kehausan.
- Étrange = Aneh.
- Effronté = Cool.
- Pour l'amour de Dieu = For heaven's sake -really, I don't know what's this meaning in Indonesia. Please forgive me.-
- Comme je m'inquiète = Like I care
- Avancé = Ayolah
- Quoi que = Terserahlah
- Quelle coïncidence = Kebetulan sekali
- Rettferdig en smule. JEG tenke du er ubenyttet å samtalen inne Engelske = Hanya sedikit. Kupikir kau tidak terbiasa berbahasa Inggris.
Thread All Alone, Leaky Cauldron 1974, Post ke-2
Interaksi dengan Friday BonClay, Janette Blizzard, Cassandra Almendarez, Persia V. Byrce, Arianne Ravell, Septimus J. Tybalt. Credit quote to those chara.
Interaksi dengan Friday BonClay, Janette Blizzard, Cassandra Almendarez, Persia V. Byrce, Arianne Ravell, Septimus J. Tybalt. Credit quote to those chara.
Labels: 1974, All Alone, Leaky Cauldron
0 Comments:
Subscribe to:
Post Comments (Atom)