Kenyang dengan butterbeer dan sepotong cake, Rigel dan Madame Noir meneruskan perjalanan mereka ke Diagon Alley, melakukan tujuan mereka sebenarnya, berbelanja. Madame Noir jelas sedang berada dalam mood terbaiknya. Sejak tadi wajahnya selalu berseri-seri, tak henti-hentinya dia bercerita pada Rigel tentang sejarah Leaky Cauldron yang sepertinya dia dapatkan dari si bartender --Rigel curiga itu penyebab Madame Noir menghabiskan waktu begitu lama hanya untuk memesan minuman-- tentang Diagon Alley, tentang toko-tokonya, tentang Hogwarts, asrama-asrama di Hogwarts --Rigel hanya bisa melongo setelah hampir lima belas menit Mère-nya bercerita. Dari mana Mère-nya dapat cerita sebanyak itu? Rasanya tadi Rigel hanya berpisah dari Mère-nya sebentar saja. Rigel geleng-geleng kepala. Semakin lama, dia semakin meragukan kebenaran cerita Mère-nya.
Rigel tidak menyangkal, dia senang melihat Mère bahagia seperti ini. Lepas dari tekanan Monsieur Noir si penguasa segalanya, Madame Noir kelihatan kembali jadi dirinya sendiri, yang senang bercerita tentang segala sesuatu, menyapa setiap orang yang berpapasan, senang berbelanja, layaknya wanita normal. Well, tidak begitu drastis memang, Madame Noir masih tetap memperlihatkan keanggunan seorang wanita bangsawan. Dia hanya menyapa orang-orang yang memperlihatkan tanda-tanda pureblood. Sekilas, mungkin tidak ada bedanya dengan Madame Noir yang biasa, tetap seorang wanita bangsawan terhormat yang anggun. Namun Rigel bisa merasakan aura bahagia yang dipancarkan Madame Noir. Dan Rigel bahagia karenanya. Dia rela melakukan apa saja, demi melihat Mère bahagia.
"....Ramon bilang, di Hogwarts nanti ada 4 asrama. Gryffindor, Hufflepuff, Ravenclaw, dan Slytherin. Keempat asrama itu dinamakan sesuai dengan nama keluarga para pendiri Hogwarts. Persis seperti yang dikatakan votre Père. Vous savez, Amoureux, Xavier sudah menyelidiki sedikit tentang Hogwarts ini. Sejauh ini keterangannya sesuai dengan cerita Ramon. Sedikit berbeda sistemnya dengan Beauxbatons. Callista dan Clémence bilang, di sana hanya ada asrama Putra dan Putri," Madame Noir masih terus bercerita.
"Mère, beda keempat asrama itu apa? Dari mana mereka menentukan aku masuk ke asrama mana?" tanya Rigel, tidak tahan berkomentar setelah lebih dari lima belas menit mendengarkan. Bagaimanapun, dia yang akan bersekolah, dan dia perlu tahu. Sesaat dia merasa kesal pada Père-nya. Dia baru tahu kalau Père sudah menyelidiki sekolah ini terlebih dulu. Kenapa Père tidak pernah cerita padaku sedikitpun?Setidaknya, Rigel bisa mempersiapkan diri menghadapi sekolah barunya, membandingkannya dengan Beauxbatons dari cerita kedua kakak perempuannya, Callista dan Clémence.
"Nanti akan ada semacam seleksi. Sayangnya Ramon tidak mau memberitahuku seleksi seperti apa yang akan mereka adakan. Tapi tenang saja, Mon fils, kau anak cerdas. Kau pasti akan masuk asrama terbaik," balas Madame Noir, sambil tersenyum dan membelai kepala putra tersayangnya lembut. Rigel tidak menjawab apapun. Mau tidak mau, dia sedikit tegang mengetahui kalau mereka akan mengadakan seleksi. Non, Père sudah tahu, tentu saja. Apa yang tidak Père tahu? Dia selalu tahu semuanya. Tapi tak pernah mau memberitahuku apapun, Rigel membatin pahit.
"Mère, kita ke toko mana dulu? Sejak tadi kita berjalan, tapi belum masuk ke toko manapun," tanya Rigel, berusaha membelokkan pikirannya dari kekesalan pada Père-nya. Madame Noir tersenyum, menghentikan jalannya sesaat.
"Kita ke Gringotts dulu. Ambil uang. Xavier sengaja tidak membawa uang banyak saat perjalanan dari Prancis. Berbahaya, katanya. Dia hanya meminta pada Gringotts di Prancis untuk membuka lemari besi untukmu di Gringotts Inggris, dan memindahkan sejumlah uang untuk biaya hidupmu di sini selama tujuh tahun," jawab Madame Noir lembut. Rigel hanya mengangguk. Seperti biasa, semua atas instruksi Père. Rasanya seumur hidupnya belum pernah melakukan sesuatu tanpa lepas dari instruksi Père. Kesal, tapi mau tak mau dia mengakui, Père selalu memikirkan segalanya dengan rinci. Mereka hampir tak pernah menemui kesalahan saat mengikuti instruksi Père.
"Kau tidak merasa kepanasan, Mon fils? Aku rasanya hampir meleleh. Aku tidak menyangka musim panas di Inggris akan sepanas ini. Istirahat sebentar, bagaimana? Ada toko es krim di sebelah sana. Semoga saja seenak es krim di Prancis," ujar Madame Noir. Rigel membenarkan dalam hati. Dia juga sudah hampir meleleh dipanggang di bawah matahari musim panas. Dia mengikuti arah yang ditunjukkan Madame Noir, dan melihat papan reklame sebuah toko es krim yang sepertinya cukup ramai. Beberapa kursi disusun di beranda toko, lengkap dengan payungnya yang berwarna cerah. Mengingatkannya akan kafe-kafe di Prancis.
"Aku anak laki-laki, tidak selemah itu, Mère," balas Rigel sengit. Madame Noir hanya tertawa kecil, dan menjawil ujung hidung putranya. "Oui, je sais, mon fils. Kau kesatria kecilku, tidak boleh lemah," katanya. Rigel meringis pelan.
Florean Fortescue’s Ice Cream Parlour, begitu bunyi papan reklame yang tergantung di atas pintu toko. Rigel menebak, pemiliknya mungkin orang Prancis juga. Begitu memasuki toko, Rigel benar-benar merasakan suasana Prancis. Seolah dia baru saja masuk ke kafe di Prancis. Dia langsugn jatuh cinta pada tempat ini. Tempat pertama yang dia sukai di Inggris, sejak dia datang kemarin. Bahkan tempat ini terasa lebih Prancis daripada Château-nya. Membuatnya merindukan tanah kelahirannya itu. Tanpa dia sadari, ekspresinya berubah sendu.
"Aku mau es krim Tiramisu, Mère," katanya tiba-tiba. Madame Noir memandangi wajah putranya, seolah menangkap ekspresi rindu di wajah Rigel. Dia tersenyum, dan mengangguk. Sementara Madame Noir memesan es krim, mata Rigel menelusuri setiap sudut toko itu, semakin lama perasaan rindunya semakin menggebu.
"Mau duduk dimana, Amoreux?" suara Madame Noir membuat Rigel tersentak, tersadar dari lamunannya. Rigel memandang ke arah luar, tanpa berbicara menunjuk pada meja di bawah naungan payung berwarna cerah itu.
"Tak ingin duduk di dalam dan berkenalan dengan teman-teman barumu? Sepertinya ada banyak anak-anak seumuranmu di sini. Siapa tahu mereka murid Hogwarts juga," kata Madame Noir. Saat itu Rigel baru menyadari kehadiran orang lain di dalam toko. Benar juga kata Mère-nya. Hampir setengah toko itu berisi anak-anak seumurannya. kebanyakan gadis. Belle, gumamnya pelan. Sesaat kemudian dia menggeleng.
"Non, Mère. Aku dengan Mère saja," jawabnya. Aku bisa berkenalan dengan mereka nanti, di sekolah. Sedangkan Mère, entah kapan aku bisa bertemu lagi, batinnya pedih. Tiba-tiba saja dia sadar, kalau dia akan berpisah lama dari Mère-nya. Apa Mère tak akan apa-apa hanya tinggal berdua saja dengan Père di rumah? Siapa yang akan menemani Mère merawat kebun bunganya? Père terlalu sibuk, Callista dan Clémence pun hanya ada di rumah saat liburan musim panas. Siapa yang akan menemani Mère sehari-hari? Peri rumah? Pikiran itu berkecamuk di benaknya, menambah keengganannya untuk bersekolah di Hogwarts. Dia tidak ingin meninggalkan Mère sendirian.
Rigel tidak menyangkal, dia senang melihat Mère bahagia seperti ini. Lepas dari tekanan Monsieur Noir si penguasa segalanya, Madame Noir kelihatan kembali jadi dirinya sendiri, yang senang bercerita tentang segala sesuatu, menyapa setiap orang yang berpapasan, senang berbelanja, layaknya wanita normal. Well, tidak begitu drastis memang, Madame Noir masih tetap memperlihatkan keanggunan seorang wanita bangsawan. Dia hanya menyapa orang-orang yang memperlihatkan tanda-tanda pureblood. Sekilas, mungkin tidak ada bedanya dengan Madame Noir yang biasa, tetap seorang wanita bangsawan terhormat yang anggun. Namun Rigel bisa merasakan aura bahagia yang dipancarkan Madame Noir. Dan Rigel bahagia karenanya. Dia rela melakukan apa saja, demi melihat Mère bahagia.
"....Ramon bilang, di Hogwarts nanti ada 4 asrama. Gryffindor, Hufflepuff, Ravenclaw, dan Slytherin. Keempat asrama itu dinamakan sesuai dengan nama keluarga para pendiri Hogwarts. Persis seperti yang dikatakan votre Père. Vous savez, Amoureux, Xavier sudah menyelidiki sedikit tentang Hogwarts ini. Sejauh ini keterangannya sesuai dengan cerita Ramon. Sedikit berbeda sistemnya dengan Beauxbatons. Callista dan Clémence bilang, di sana hanya ada asrama Putra dan Putri," Madame Noir masih terus bercerita.
"Mère, beda keempat asrama itu apa? Dari mana mereka menentukan aku masuk ke asrama mana?" tanya Rigel, tidak tahan berkomentar setelah lebih dari lima belas menit mendengarkan. Bagaimanapun, dia yang akan bersekolah, dan dia perlu tahu. Sesaat dia merasa kesal pada Père-nya. Dia baru tahu kalau Père sudah menyelidiki sekolah ini terlebih dulu. Kenapa Père tidak pernah cerita padaku sedikitpun?Setidaknya, Rigel bisa mempersiapkan diri menghadapi sekolah barunya, membandingkannya dengan Beauxbatons dari cerita kedua kakak perempuannya, Callista dan Clémence.
"Nanti akan ada semacam seleksi. Sayangnya Ramon tidak mau memberitahuku seleksi seperti apa yang akan mereka adakan. Tapi tenang saja, Mon fils, kau anak cerdas. Kau pasti akan masuk asrama terbaik," balas Madame Noir, sambil tersenyum dan membelai kepala putra tersayangnya lembut. Rigel tidak menjawab apapun. Mau tidak mau, dia sedikit tegang mengetahui kalau mereka akan mengadakan seleksi. Non, Père sudah tahu, tentu saja. Apa yang tidak Père tahu? Dia selalu tahu semuanya. Tapi tak pernah mau memberitahuku apapun, Rigel membatin pahit.
"Mère, kita ke toko mana dulu? Sejak tadi kita berjalan, tapi belum masuk ke toko manapun," tanya Rigel, berusaha membelokkan pikirannya dari kekesalan pada Père-nya. Madame Noir tersenyum, menghentikan jalannya sesaat.
"Kita ke Gringotts dulu. Ambil uang. Xavier sengaja tidak membawa uang banyak saat perjalanan dari Prancis. Berbahaya, katanya. Dia hanya meminta pada Gringotts di Prancis untuk membuka lemari besi untukmu di Gringotts Inggris, dan memindahkan sejumlah uang untuk biaya hidupmu di sini selama tujuh tahun," jawab Madame Noir lembut. Rigel hanya mengangguk. Seperti biasa, semua atas instruksi Père. Rasanya seumur hidupnya belum pernah melakukan sesuatu tanpa lepas dari instruksi Père. Kesal, tapi mau tak mau dia mengakui, Père selalu memikirkan segalanya dengan rinci. Mereka hampir tak pernah menemui kesalahan saat mengikuti instruksi Père.
"Kau tidak merasa kepanasan, Mon fils? Aku rasanya hampir meleleh. Aku tidak menyangka musim panas di Inggris akan sepanas ini. Istirahat sebentar, bagaimana? Ada toko es krim di sebelah sana. Semoga saja seenak es krim di Prancis," ujar Madame Noir. Rigel membenarkan dalam hati. Dia juga sudah hampir meleleh dipanggang di bawah matahari musim panas. Dia mengikuti arah yang ditunjukkan Madame Noir, dan melihat papan reklame sebuah toko es krim yang sepertinya cukup ramai. Beberapa kursi disusun di beranda toko, lengkap dengan payungnya yang berwarna cerah. Mengingatkannya akan kafe-kafe di Prancis.
"Aku anak laki-laki, tidak selemah itu, Mère," balas Rigel sengit. Madame Noir hanya tertawa kecil, dan menjawil ujung hidung putranya. "Oui, je sais, mon fils. Kau kesatria kecilku, tidak boleh lemah," katanya. Rigel meringis pelan.
Florean Fortescue’s Ice Cream Parlour, begitu bunyi papan reklame yang tergantung di atas pintu toko. Rigel menebak, pemiliknya mungkin orang Prancis juga. Begitu memasuki toko, Rigel benar-benar merasakan suasana Prancis. Seolah dia baru saja masuk ke kafe di Prancis. Dia langsugn jatuh cinta pada tempat ini. Tempat pertama yang dia sukai di Inggris, sejak dia datang kemarin. Bahkan tempat ini terasa lebih Prancis daripada Château-nya. Membuatnya merindukan tanah kelahirannya itu. Tanpa dia sadari, ekspresinya berubah sendu.
"Aku mau es krim Tiramisu, Mère," katanya tiba-tiba. Madame Noir memandangi wajah putranya, seolah menangkap ekspresi rindu di wajah Rigel. Dia tersenyum, dan mengangguk. Sementara Madame Noir memesan es krim, mata Rigel menelusuri setiap sudut toko itu, semakin lama perasaan rindunya semakin menggebu.
"Mau duduk dimana, Amoreux?" suara Madame Noir membuat Rigel tersentak, tersadar dari lamunannya. Rigel memandang ke arah luar, tanpa berbicara menunjuk pada meja di bawah naungan payung berwarna cerah itu.
"Tak ingin duduk di dalam dan berkenalan dengan teman-teman barumu? Sepertinya ada banyak anak-anak seumuranmu di sini. Siapa tahu mereka murid Hogwarts juga," kata Madame Noir. Saat itu Rigel baru menyadari kehadiran orang lain di dalam toko. Benar juga kata Mère-nya. Hampir setengah toko itu berisi anak-anak seumurannya. kebanyakan gadis. Belle, gumamnya pelan. Sesaat kemudian dia menggeleng.
"Non, Mère. Aku dengan Mère saja," jawabnya. Aku bisa berkenalan dengan mereka nanti, di sekolah. Sedangkan Mère, entah kapan aku bisa bertemu lagi, batinnya pedih. Tiba-tiba saja dia sadar, kalau dia akan berpisah lama dari Mère-nya. Apa Mère tak akan apa-apa hanya tinggal berdua saja dengan Père di rumah? Siapa yang akan menemani Mère merawat kebun bunganya? Père terlalu sibuk, Callista dan Clémence pun hanya ada di rumah saat liburan musim panas. Siapa yang akan menemani Mère sehari-hari? Peri rumah? Pikiran itu berkecamuk di benaknya, menambah keengganannya untuk bersekolah di Hogwarts. Dia tidak ingin meninggalkan Mère sendirian.
Thread Florean Fortescue’s Ice Cream Parlour v.2 (1974), Diagon Alley, 1974.
Satu thread dengan Arzu Evenstar, Aria Duncan, Athalie Ng, Evania Goldwin, Kathleen C. Herdma, Destiny McLight, Dreirtne T Droweseunravel, Sella Bloompicers, Arianne Ravell, Rebelnackle Talented, Charisa Victoricallus, Gabrielle N. McMoney, Reyfan N. Mentzer (Rigel keluar sebelum chara baru bergabung masuk). Credit quotes and some descriptions to those chara.
Satu thread dengan Arzu Evenstar, Aria Duncan, Athalie Ng, Evania Goldwin, Kathleen C. Herdma, Destiny McLight, Dreirtne T Droweseunravel, Sella Bloompicers, Arianne Ravell, Rebelnackle Talented, Charisa Victoricallus, Gabrielle N. McMoney, Reyfan N. Mentzer (Rigel keluar sebelum chara baru bergabung masuk). Credit quotes and some descriptions to those chara.
Labels: 1974, Diagon Alley
0 Comments:
Subscribe to:
Post Comments (Atom)